Selasa, 10 November 2015

Menggapai Hidayah dengan Keinsyafan

Imam muslim mengabadikan sebuah kisah yang di sampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kisah sebuah ketulusan kunci mendapatkan hidayah dan kemulyaan.

menggapai hidayah dengan keinsyafan
Disebutkan bahwa Rasulullah shollallahu’alayhi wa sallam bercerita tentang seorang kiyai yang sangat gemar beribadah. Ia sengaja memilih tempat yang jauh dari kebisingan kota, di atas gununglah yang jadi pilihanya. Cukup lama ia berada di tempat tersebut, hari-harinya adalah hanya untuk bersujud dan berdzikir kepada Allah.
Ditempat yang berbeda, yaitu ditengah kebisingan manusia mencari dunia, hiduplah seorang pemuda yang bergelimang dalam dosa dan kenistaan. Ia adalah preman pasar yang dalam kesehari-harianya adalah menimbun dosa.
Pada suatu ketika sang kiyai yang di atas gunung tersebut  kehabisan bekal makanan, maka iapun harus segera turun ke tengah pasar untuk membeli bekal makanan secukupnya. Dalam waktu yang bersamaan, preman pasar yang terkenal dengan kejahatanya tersebut tiba-tiba tergerak hatinya untuk bertemu dengan kiai yang tinggal di lereng gunung. Ia yakini beliau adalah orang soleh dan kedatanganyapun adalah untuk tujuan yang amat mulia yaitu ingin mendengar nasehat dan mendapatkan bimbingan dari sang kiyai. Maka iapun mengambil keputusan untuk pergi keatas gunung untuk menemui orang tersebut.
Karena waktu untuk memenuhi keperluan dua manusia tersebut adalah sama, maka mau tidak mau mereka harus berpapasan ditengah jalan. Di pegunungan yang ada adalah jalan setapak yang hanya cukup satu orang berjalan, jika ada orang lain yang datang dari arah berlawanan maka salah satu dari mereka harus mengalah. Begitulah pemandangan yang terjadi pada saat itu antara sang kiyai yang ahli ibadah dan preman yang ahli maksiat.
Suasana yang amat mengagetkan sang preman saat itu, berpapasan dengan orang yang dikagumi dan di hormati ditempat yang tidak di duga yaitu di tengah jalan setapak. Ia merasa belum siap bertemu di tempat tersebut, ia ingin bertemu dengan sang kiyai  dirumah dan tempat ibadahnya dan bukan di jalan. Sang preman merasakan didalam dirinya rasa takut, kagum dan hormat bercampur menjadi satu. Itulah yang menjadikan sang preman terduduk di jalan setapak tanpa ia sadari. Ia tidak mampu bertutur kata sepatah katapun dan ia hanya mampu memberi isyarat dengan tanganya kepada kiai tersebut yang maksudnya “silakan melewati jalan setapak ini!” Sang kiyai pun berlalu dan mata sang premanpun tidak berpindah  dari sang kiyai hingga lenyap dari pandanganya.
Suasana lain yang di rasakan sang kiyai di saat matanya tertuju kepada sang preman yang berdiri di jalan setapaknya. Ia merasa risih dengan pemandangan itu maka iapun melewati sang preman dengan kesombonganya, tidak ia mengucapkan salam kepadanya, tidak ia bertanya keperluan dan tujuan sang preman ke atas gunung. Yang ada adalah keangkuhan dan kesombonganya karena merasa dia adalah kiyai dan ahli ibadah yang seolah benar-benar  lebih dekat kepada Allah Ta’ala lalu ia  memandang sang preman dengan mata merendahkan dan meremehkan.
Ditengah-tengah cerita ini, Rasulullah shollallahu’alayhi wa sallam  menjelaskan bahwa karena kesombongan sang kiyai tersebut, maka Allah mencabut hidayah dari hatinya. sementara karena keinsyafan, kekaguman dan rasa hormat sang preman kepada kiyai,  maka Allah memberikan hidayah kepadanya dan mengangkatnya menjadi kekasihnya.
(MASYA ALLOH)
Itulah penjelasan dari Rasulullah bahwa orang yang katanya ahli ibadah, alim, soleh akan tetapi jika itu semua menjadikan ia merendahkan orang lain maka hal itu akan menjadikan sebab di cabutnya hidayah Allah Ta’ala.
Begitu sebaliknya biarpun seseorang bergelimang dalam kejahatan dan kemaksiatan  akan tetapi ada keinsyafan, kekaguman dan cinta di hatinya kepada kiyai, orang soleh dan ahli ibadah maka hal itu akan menjadikan sebab mendapatkan hidayah dari Allah Ta’ala.
Itu adalah cerita dari Rasulullah Shollallou’alaihi wasallam untuk kita, yang isinya adalah nasehat dan peringatan bagi kita. Kita harus melihat diri kita, sebagai apa kita? Menginsyafi keberadaan kita. Jika kita sebagai ustadz harus insyaf dengan posisi ini dengan  senantiasa memandang orang yang belum mengerti dengan mata kasih dan cinta, bukan dengan kesombongan dan keangkuhan.
Jika kita adalah orang yang tidak mengerti atau banyak dosa  maka kita harus menyadari kekurangan ini dengan senantiasa berusaha untuk bisa dekat dan mencintai para ulama dan orang soleh. Itulah pintu hidayah untuk mendapatkan kemulyaan dihadapan Allah Ta’ala.
Inilah yang akan menjadikan kiyai semakin terlihat santun dan  indah dalam mengajak kepada kebaikan yang pada akhirnya menjadikan orang yang berada di jalan yang salah mudah untuk mencintai para kiyai.
Hasilnya adalah keindahan dari yang mengajak dan yang di ajak dan dari sinilah sebab mendapatkan hidayah dari Allah.
Wallahu a’lam bishshowab
diceritakan oleh ust. Buya Yahya

Post By Santosa Uyee

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Santosa Uyee Visit Original Post Putra ka'bah