Senin, 07 Maret 2016

Sejarah Hadhramaut


Hadramaut adalah suatu daerah yang terletak di Timur Tengah, tepatnya di kawasan seluruh pantai Arab Selatan dari mulai Aden sampai Tanjung Ras al-Hadd. Menurut sebagian orang Arab, Hadramaut hanyalah sebagian kecil dari Arab Selatan, yaitu daerah pantai di antara pantai desa-desa nelayan Ain Ba Ma’bad dan Saihut beserta daerah pegunungan yang terletak di belakangnya. Penamaan Hadramaut menurut penduduk adalah nama seorang anak dari Qahthan bin Abir bin Syalih bin Arfahsyad bin Sam bin Nuh yang bernama Hadramaut, yang pada saat ini nama tersebut disesuaikan namanya dengan dua kata arab hadar dan maut (menurut sebagian versi).
Nabi Hud merupakan salah satu nabi yang berbangsa Arab selain Nabi Saleh, Nabi Ismail dan Nabi Muhammad SAW. Nabi Hud diutus kepada kaum ‘Ad yang merupakan generasi keempat dari Nabi Nuh, yakni keturunan Aus bin Aran bin Sam bin Nuh. Mereka tinggal di Ahqaf yakni jalur pasir yang panjang berbelok-belok di Arab Selatan, dari Oman di Teluk Persia hingga Hadramaut dan Yaman di Pantai Selatan Laut Merah. Dahulu Hadramaut dikenal dengan Wadi Ahqaf, Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata bahwa al-Ahqaf adalah al-Khatib al-Ahmar. Makam Nabi Hud secara tradisional masih ada di Hadramaut bagian Timur dan pada tanggal 11 Sya’ban banyak dikunjungi orang untuk berziarah ke makam tersebut dengan membaca tiga kali surah Yasin dan doa nisfu Sya’ban.
Ziarah nabi Hud pertama kali dilakukan oleh al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan setelah beliau wafat, ziarah tersebut dilakukan oleh anak keturunannya. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad semasa hidupnya sering berziarah ke makam Nabi Hud. Beliau sudah tiga puluh kali berziarah ke sana dan beliau lakukan pada setiap bulan Sya’ban. Dalam ziarah tersebut beliau berangkat bersama semua anggota kerabat yang tinggal di dekatnya. Beliau tinggal (di dekat pusara Nabi Hud) selama beberapa hari hingga maghrib menjelang malam nisfu sya’ban. Beliau menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah ke sana, bahkan beliau mewanti-wanti, “Barangsiapa berziarah ke (makam) Nabi Hud dan di sana ia menyelenggarakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, ia akan mengalami tahun yang baik dan indah.” Menurut sebagian ulama kasyaf, makam Nabi Hud merupakan tempat penobatan para waliyullah.Setibanya di syi’ib Nabi Hud (lembah antara dua bukit tempat pusara nabi Hud), Imam al-Haddad bertemu dengan beberapa orang sayyid dan waliyullah, sehingga pertemuan itu menjadi majlis pertukaran ilmu dan pandangan.

Dalam bahasa Ibrani asal nama Hadramaut adalah ‘Hazar Maweth’ yang berdasarkan etimologi, rakyat mengaggapnya berhubungan dengan gagasan “hadirnya kematian” yaitu berkaitan dengan hadirnya Nabi Saleh as ke negeri itu, yang tidak lama kemudian meninggal dunia. Pengertian lain kata Hadramaut menurut prasasti penduduk asli Hadramaut adalah “panas membakar”, sesuai dengan pendapat Moler dalam bukunya Hadramaut, mengatakan bahwa Hadramaut sebenarnya berarti negeri yang panas membakar. Sebuah legenda yang dipercayai masyarakat Hadramaut bahwa negeri ini diberi nama Hadramaut karena dalam negeri tersebut terdapat sebuah pohon yang disebut al-Liban semacam pohon yang baunya menurut kepercayaan mereka sangat mematikan. Oleh karena itu, setiap orang yang datang (hadar) dan menciumnya akan mati (maut).
Kota-kota di Hadramaut.
Di antara pelabuhan yang cukup penting di pantai Hadramaut adalah al-Syihir dan al-Mokalla. Asy-Syihir merupakan bandar penting yang melakukan perdagangan dengan pantai Afrika Timur, Laut Merah, Teluk Persia, India dan pesisir Arab Selatan terutama Moskat, Dzofar dan Aden serta perdagangan dengan bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lainnya. Kota Syibam merupakan salah satu kota penting di negeri itu. Syibam merupakan kota Arab terkenal yang dibangun menurut gaya tradisional. Di kota ini terdapat lebih dari 500 buah rumah yang dibangun rapat, bertingkat empat atau lima. Orang Barat menjulukinya ‘Manhattan of the Desert’. Kota tua ini telah menjadi ibukota Hadramaut sejak jatuhnya Syabwah (pada abad ke 3 sampai abad ke 16). Karena dibangun di dasar wadi yang agak tinggi, kota ini rentan terhadap banjir, seperti yang dialaminya tahun 1532 dan 1533. Kota-kota besar di sebelah Timur Syibam adalah al-Gorfah, Seiyun, Taribah, al-Goraf, al-Sowairi, Tarim, Inat dan al-Qasm.
Seiyun
Seiyun
Seiyun merupakan kota terpenting di Hadramaut pada abad ke 19, kota terbesar yang merupakan ibukota protektorat terletak 320 km dari Mokalla’.  Ia juga sering dijuluki ‘Kota Sejuta Pohon Kurma’ karena luasnya perkebunan kurma di sekitarnya.
Kota lain di sebelah Timur Syibam adalah Tarim, yang terletak sekitar 35 km di Timur Saiun. Di satu sisi kota ini terlindungi oleh bukit-bukit batu terjal, di sisi lain di kelilingi oleh perkebunan kurma. Sejak dulu, Tarim merupakan pusat Mazhab Syafi’i. Antara abad ke 17 dan abad ke 19 telah terdapat lebih dari 365 masjid. Kota Tarim atau biasa dibaca Trim termasuk kota lama. Nama Tarim, menurut satu riwayat diambil dari nama seorang raja yang bernama Tarim bin Hadramaut. Dia juga disebut dengan Tarim al-Ghanna atau kota Tarim yang rindang karena banyak pepohonan dan sungai. Kota tersebut juga dikenal dengan kota al-Shiddiq karena gubernurnya Ziyad bin Lubaid al-Anshari ketika menyeru untuk membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, maka penduduk Tarim adalah yang pertama mendukungnya dan tidak ada seorang pun yang membantahnya hingga khalifah Abu Bakar mendoakan penduduk Tarim dengan tiga permintaan: (1) agar kota tersebut makmur, (2) airnya berkah, dan (3) dihuni oleh banyak orang-orang saleh. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Ba’abad berkata bahwa: “al-Shiddiq akan memberikan syafa’at kepada penduduk Tarim secara khusus”.
Kota Tarim
Kota Tarim
Menurut suatu catatan dalam kitab al-Ghurar yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Ali bin Alawi Khirid, bahwa keluarga Ba’alawi pindah dari Desa Bait Jubair ke kota Tarim sekitar tahun 521 hijriyah. Setelah kepindahan mereka kota Tarim dikenal dengan kota budaya dan ilmu. Diperkirakan, pada waktu itu di kota Tarim ada sekitar 300 orang ahli fiqih, bahkan pada barisan yang pertama di masjid agung kota Tarim dipenuhi oleh ulama fiqih kota tersebut. Adapun orang pertama dari keluarga Ba’alawi yang hijrah ke kota Tarim adalah Syaikh Ali bin Alwi Khali’ Qasam dan saudaranya Syaikh Salim, kemudian disusul oleh keluarga pamannya yaitu Bani Jadid dan Bani Basri.
Diceritakan bahwa pada kota Tarim terdapat tiga keberkahan: (1) keberkahan pada setiap masjidnya, (2) keberkahan pada tanahnya, (3) keberkahan pada pergunungannya. Keberkahan masjid yang dimaksud adalah setiap masjid di kota Tarim pada waktu sesudah kepindahan Ba’alawi menjadi universital-universitas yang melahirkan ulama-ulama terkenal pada masanya. Di antara masjid-masjid di kota Tarim yang bersejarah ialah masjid Bani Ahmad yang kemudian dikenal dengan masjid Khala’ Qasam setelah beliau berdomisili di kota tersebut. Masjid tersebut dibangun dengan batu, tanah dan kayu yang diambil dari desa Bait Jubair karena tanah dari desa tersebut dikenal sangat bagus, kemudian masjid tersebut dikenal dengan masjid Ba’alawi. Bangunan masjid Ba’alawi nyaris sebagian tiangnya roboh dan direnovasi oleh Muhammad Shahib Mirbath. Pada awal abad ke sembilan hijriyah, Syaikh Umar Muhdhar merenovasi kembali bagian depan dari masjid tersebut.
Naqib dan Munsib
Di lembah yang terletak antara Syibam dan Tarim dengan Saiun di antaranya terdapat lebih dari sepertiga penduduk Hadramaut. Dari sini pula kebanyakan orang Arab di Indonesia. Di antara penduduk Hadramaut terdapat kaum Alawiyin yang lebih dikenal dengan golongan Sayid. Golongan Sayid sangat besar jumlah anggotanya di Hadramaut terutama di kota Tarim dan Saiun, mereka membentuk kebangsawanan beragama yang sangat dihormati, sehingga secara moral sangat berpengaruh pada penduduk. Mereka terbagi dalam keluarga-keluarga (qabilah), dan banyak di antaranya yang mempunyai pemimpin turun temurun yang bergelar munsib.
Munsib merupakan perluasan dari tugas ‘Naqib’ yang mulai digunakan pada zaman Imam Ahmad al-Muhajir sampai zaman Syekh Abu Bakar bin Salim. Seorang ‘naqib’ adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim, seperti Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf. Ketika terpilih menjaga ‘naqib’, beliau mengajukan beberapa persyaratan, diantaranya:
Kepala keluarga Alawiyin dimohon kesediaannya untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka dari keluarga kaya dengan anak laki-laki dari keluarga miskin, begitu pula sebaliknya untuk menikahkan anak laki-laki dari keluarga kaya dengan anak perempuan dari keluarga miskin.
Menurunkan besarnya mahar pernikahan dari 50 uqiyah menjadi 5 uqiyah, sebagaimana perintah shalat dari 50 waktu menjadi 5 waktu.
Tidak menggunakan tenaga binatang untuk menimba air secara berlebihan.
Setelah Syekh Umar Muhdhar wafat, jabatan ‘naqib’ dipegang oleh Syekh Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar al-Sakran, Syekh Abu Bakar al-Adeni Alaydrus, Sayid Ahmad bin Alwi Bajahdab, Sayid Zainal Abidin Alaydrus.
Menurut Syekh Ismail Yusuf al-Nabhani dalam kitabnya ‘Al-Saraf al-Muabbad Li Aali Muhammad’ berkata: “Salah satu amalan yang khusus yang dikerjakan oleh keluarga Rasulullah, adanya ‘naqib’ yang dipilih di antara mereka”. Naqib dibagi menjadi dua, yaitu:
Naqib Umum ( al-Naqib al-Am ), dengan tugas:
Menyelesaikan pertikaian yang terjadi di antara keluarga
Menjadi ayah bagi anak-anak dari keluarga yatim
Menentukan dan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang telah membuat suatu kesalahan atau menyimpang dari hukum agama.
Mencarikan jodoh dan menikahkan perempuan yang tidak punya wali.
Naqib khusus (al-Naqib al-khos), dengan tugas:
Menjaga silsilah keturunan suatu kaum
Mengetahui dan memberi legitimasi terhadap nasab seseorang.
Mencatat nama-nama anak yang baru lahir dan yang meninggal.
Memberikan pendidikan akhlaq kepada kaumnya.
Menanamkan rasa cinta kepada agama dan melarang untuk berbuat yang tidak baik.
Menjaga keluarga dari perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama.
Menjaga keluarga bergaul kepada mereka yang mempunyai akhlaq rendah demi kemuliaan diri dan keluarganya.
Mengajarkan dan mengarahkan keluarga tentang kebersihan hati
Menjaga orang yang lemah dan tidak menzaliminya.
Menahan perempuan-perempuan mereka menikah kepada lelaki yang tidak sekufu’.
Menjaga harta yang telah diwakafkan dan membagi hasilnya berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Bertindak tegas dan adil kepada siapa saja yang berbuat kesalahan.
Dewan naqabah terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan lima orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka. Dewan yang terdiri dari sepuluh anggota ini mengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari’at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (naqib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.
Dari waktu ke waktu tugas ‘naqib’ semakin berat, hal itu disebabkan banyak keluarga dan mereka menyebar ke berbagai negeri yang memerlukan perjalanan berhari-hari untuk bertemu ‘naqib’ jika mereka hendak bertemu untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk meringankan tugas ‘naqib’ tersebut, maka terbentuklah ‘munsib’. Para munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Jabatan munsib diterima secara turun menurun, dan di antara tugasnya selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa, menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk dan bantuan kepada mereka yang memerlukan. Sebagaian besar munsib Alawiyin muncul pada abad sebelas dan abad ke dua belas hijriyah, diantaranya keluarga bin Yahya mempunyai munsib di al-Goraf, keluarga al-Muhdar di al-Khoraibah, keluarga al-Jufri di dzi-Asbah, keluarga al-Habsyi di khala’ Rasyid, keluarga bin Ismail di Taribah, keluarga al-Aidrus di al-Hazm, Baur, Salilah, Sibbi dan ar-Ramlah, keluarga Syekh Abu Bakar di Inat, keluarga al-Attas di al-Huraidah, keluarga al-Haddad di al-Hawi dan keluarga Aqil bin Salim di al-Qaryah.
.
Keluarga golongan sayid.
.
Keluarga golongan Sayid yang berada di Hadramaut adalah:
Aal-Ibrahim
Al-Ustadz al-A’zhom
Asadullah fi Ardih
Aal-Ismail
Aal-Bin Ismail
Al-A’yun
Aal-Albar
Aal-Battah
Aal-Albahar
Aal-Barakat
Aal-Barum
Aal-Basri
Aal-Babathinah
Aal-Albaiti
Aal-Babarik
Aal-Albaidh
Al-Turobi
Aal-Bajahdab
Jadid
Al-Jaziroh
Aal-Aljufri
Jamalullail
Aal-Bin Jindan
Al-Jannah
Aal-Junaid
Aal-Aljunaid Achdhor
Aal-Aljailani
Aal-Hamid
Aal-Alhamid
Aal-Alhabsyi
Aal-Alhaddad
Aal-Bahasan
Aal-Bahusein
Hamdun
Hamidan
Aal-Alhiyyid
Aal-Khirid
Aal-Balahsyasy
Aal-Khomur
Aal-Khaneiman
Aal-Khuun
Aal-Maula Khailah
Aal-Dahum
Maula al-Dawilah
Aal-Aldzahb
Aal-Aldzi’bu
Aal-Baraqbah
Aal-Ruchailah
Aal-Alrusy
Aal-Alrausyan
Aal-Alzahir
Aal-Alsaqqaf
Al-Sakran
Aal-Bin Semith
Aal-Bin Semithan
Aal-Bin Sahal
Aal-Assiri
Aal-Alsyatri
Aal-Syabsabah
Aal-Alsyili
Aal-Basyamilah
Aal-Syanbal
Aal-Syihabuddin
Al-Syahid
Aal-Basyaiban
Al-Syaibah
Aal-Syaikh Abi Bakar
Aal-Bin Syaichon
Shahib al-Hamra’
Shahib al-Huthoh
Shahib al-Syubaikah
Shahib al-Syi’ib
Shahib al-Amaim
Shahib Qasam
Shahib Mirbath
Shahib Maryamah
Al-Shodiq
Aal-Alshofi Alsaqqaf
Aal-Alshofi al-Jufri
Aal-Basuroh
Aal-Alshulaibiyah
Aal-Dhu’ayyif
Aal-Thoha
Aal-Al thohir
Aal-Ba’abud
Al-Adeni
Aal-Al atthas
Aal-Azhamat Khan
Aal-Aqil
Aal-Ba’aqil
Aal-Ba’alawi
Aal-Ali lala
Aal-Ba’umar
Aal-Auhaj
Aal-Aydrus
Aal-Aidid
Al-Ghozali
Aal-Alghozali
Aal-Alghusn
Aal-Alghumri
Aal-Balghoits
Aal-Alghaidhi
Aal-Fad’aq
Aal-Bafaraj
Al-Fardhi
Aal-Abu Futaim
Al-Faqih al-Muqaddam
Aal-Bafaqih
Aal-Faqih
Aal-Bilfaqih
Al-Qari’
Al-Qadhi
Aal-Qadri
Aal-Quthban
Aal-Alkaf
Kuraikurah
Aal-Kadad
Aal-Karisyah
Aal-Mahjub
Al-Muhdhar
Aal-Almuhdhar
Aal-Mudhir
Aal-Mudaihij
Abu Maryam
Al-Musawa
Aal-Almusawa
Aal-Almasilah
Aal-Almasyhur
Aal-Masyhur Marzaq
Aal-Musyayakh
Aal-Muzhahhir
Al-Maghrum
Aal-Almaqdi
Al-Muqlaf
Aal-Muqaibil
Aal-Maknun
Aal-Almunawwar
Al-Nahwi
Aal-Alnadhir
Al-Nuqa’i
Aal-Abu Numai
Al-Wara’
Aal-Alwahath
Aal-Hadun
Aal-Alhadi
Aal-Baharun
Aal-Bin Harun
Aal-Hasyim
Aal-Bahasyim
Aal-Bin Hasyim
Aal-Alhaddar
Aal-Alhinduan
Aal-Huud
Aal-Bin Yahya
Keluarga Alawiyin di atas adalah keturunan dari Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, sedangkan yang bukan dari keturunan Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, adalah:
Aal-Hasni
Aal-Barakwan
Aal-Anggawi
Aal-Jailani
Aal-Maqrabi
Aal-Bin Syuaib
Aal-Musa al-Kadzim
Aal-Mahdali
Aal-Balakhi
Aal-Qadiri
Aal-Rifai
Aal-Qudsi
Sedangkan yang tidak berada di Indonesia kurang lebih berjumlah 40 qabilah, diantaranya qabilah Abu Numai al-Hasni yaitu leluhur Almarhum Raja Husein (Yordania) dan sepupunya Almarhum Raja Faisal (mantan raja Iraq) dan qabilah al-Idrissi, yaitu leluhur mantan raja-raja di Tunisia dan Libya.
__
sumber: indo.hadhramaut.info

Peran Hadharim


Masuknya Islam di India dan Asia Tenggara Dalam berhijrah ke suatu negeri, dakwah adalah sebuah motivasi bagi hadharim (etnis hadhramaut). Negara-negara yang mereka tuju antara lain Afrika Timur, Zanjibar, Pantai Gading, Madaghaskar, dan Asia mulai dari India hingga Indonesia.
Tidak semua hadharim yang berhijrah bertujuan mengais rejeki. Namun di antara kelompok ‘muhajirin’ itu juga mempunyai misi dakwah. Penganut tasawwuf banyak melakukan reformasi dalam bidang sosial kemasyarakatan dan sangat berpengaruh dalam merubah corak sosial negara yang baru di tempatinya. Sehingga masyarakat pribumi dengan senang hati memeluk agama Islam dan menyerap ajaran-ajaran Islam.
Mereka merintis suatu kulturisasi peradaban dan kebudayan pribumi dengan peradaban Islami. Namun dengan tetap mengkokohkan ajaran Islam. Ini mendalilkan, ajaran Islam selalu sesuai dengan segala aspek kehidupan, di manapuan dan kapan pun. Hadharim mempunyai tempat yang spesial di mata pribumi. Banyak dari pribumi yang kemudian mengawinkan putri-putrinya dengan hadharim. Sebagian ada yang diangkat sebagai pemuka masyarakat.
Hadharim telah terbukti partisipasinya dalam mengagungan Islam. Mereka juga mampu memberikan jawaban dan tantangan. Hal itu bisa dilihat tatkala Andalus sebagai pusat peradaban Islam justru sedang mengalami kekalahan, hadharim sanggup menyebarkan Islam di beberapa penjuru dunia dalam masa yang relatif singkat.
Kenyataan ini terukir dalam sejarah. Saat pertama kali bangsa Eropa (Inggris, Spanyol dan Portugal) mengirimkan pasukan perang salib dan melebarkan sayap imperialisme ke segala penjuru dunia Islam, dan daerah–daerah yang sulit dijangkau pemerintahan Usmani (Ottoman), hadharim bahu-membahu dengan pribumi melakukan perjuangan perlawanan terhadap imperialisme barat. Meski dengan fasilitas apa adanya. Bantuan pada pribumi bukan saja dalam sektor ekonomi dan budaya, tapi juga di bidang politik militer dan siasat perang.
Penganut tasawwuf yang menghindar dari perpolitikan di Hadramaut, yang merupakan hasil dari pertumpahan darah antar kabilah yang tak berujung, melibatkan diri dalam perpolitikan negeri singgahannya. Sekaligus, menyebarkan Islam juga.
Dalam sejarah Afrika, Hadharim ikut serta dalam perjuangan rakyat melawan penjajah Eropa. Sebelumnya telah terjadi hubungan baik dalam bidang dagang antara Yaman dan Afrika sejak pra Islam. Lalu hubungan ini bertambah baik pasca kedatangan Islam. Bahkan seorang hadhrami pernah menjadi Amir (pemimpin) di sebagian pemerintahan daerah sepanjang pantai Afrika Timur, dari Somalia sampai ke Mozambik. Ini terjadi sebelum datangnya Imperialis Barat ke Afrika. Begitu pula keterlibatan mereka dalam perang melawan kolonial Potugal.
Dalam pemerintaha Omman, mereka juga mempunyai pengaruh yang kongkrit. Hadharim mempunyai pengaruh besar di Madagascar. Bani Alawy berhasil memimipin tampuk pemerintahan di Juzurul Qomar (Comoro).
Kronologi Masuknya Islam ke India dan Asia Tenggara
Mayoritas sejarawan menguatkan pendapat, masuknya Islam ke India dan Asia Tenggara sudah dimulai sejak kurun pertama Hijriyah. Hanya saja, penyebaran Islam tidak bisa langsung seperti menggebyah uyah ke berbagai daerah dalam satu waktu, Namun Islam masuk dalam berbagai tempat yang berbeda dan dalam waktu yang tidak bersamaan.
Tepatnya pada kurun keenam Hijriyah, Islam meluas ke daerah-daerah secara kontinyu hingga kurun kesebelas melalui imigran dari Hadhramaut.
Yaman juga terkenal mempunyai hubungan dagang yang baik  dengan India dan Asia Tenggara semenjak pra Islam. Hubungan itu terus berkembang sampai kehadiran Islam. Hubungan ini tidak sebatas pada bidang dagang, tetapi juga mencakup bidang-bidang kehidupan lain. Para ahli sejarah hampir sepakat tentang masuknya Islam ke India dan Asia Tenggara melalui perantara Hadharim. Di samping juga melalui orang India, Persi, ataupun Indonesia.
Hadharim dikenal dengan sifat-sifat terpuji yang menyebabkan penduduk setempat tertarik dan simpati. Pengaruh positif yang dirasakan itu juga merembet ke medan perpolitikan regional. Mereka datang bukan untuk berperang dan menjajah. Bahkan, para pribumi menganggap mereka sebagai simbol bangsa yang mampu membumikan kemaslahatan dan keinginan pribumi di daerah tersebut.
Faktor-faktor yang memotifasi mereka untuk terjun dalam aktivitas politik pribumi antara lain untuk menyebarkan Islam, perjuangan melawan penjajah, dan motivasi-motivasi lain.
Penyebaran Islam dan Walisongo
Seperti telah disinggung, tidak semua hadharim yang hijrah hanya untuk mencari rejeki. Namun banyak sekali kalangan dai dan ulama yang juga hijrah untuk menyebarkan Islam. Mereka hijrah menuju India, dan disambut baik oleh raja-raja India Muslim. Hal itu dilakukan sebab mereka membutuhkan kehadiran ulama yang dapat dijadikan panutan dalam rangka menopang pemerintahanya dalam menghadapi rakyat yang beragama Hindu. Juga untuk menyebarkan Islam di beberapa wilayah, terutama pada kelompok Mabila.
Para dai tersebut mempunyai posisi penting di mata raja-raja India Muslim. Di antaranya, al-‘Alamah as-Sufi as- Syekh Muhammad bin Umar Bahroq (W 1524 M). Ia disambut oleh Raja Sulthan Mudhaffar bin Mahmud Bahbikroh, yang kemudian berdomisili di Gujarat dalam kurun waktu yang cukup lama. Ia mempunyai kedudukan terhormat dalam kerajaan dan masyarakat, sebagai tumpuan dalam menghadapi pengaruh orang-orang Hindu dan para Brahmana. Karena itu, para musuh berfikir keras untuk melenyapkan dan melakukan tipu muslihatnya dengan cara meracuni hingga ia meninggal dunia.
Demikian juga as-Sayyid Abdullah al-Idrus (W 1632 M) yang hidup pada masa kerajaan Bayjayyur. Pengaruhnya sangat kuat, khususnya pada pribadi Sultan Ibrahim Adil Syah. Otomatis, aliran kebijakan kerajaan yang asalnya Syiah, berubah menjadi Sunni. Selain itu, baju resmi kebesaran kerajaan berganti dengan model Arab, sebagai ganti baju model Persi.
Keluarga yang mempunyai pengaruh paling besar di India dan Asia Tenggara adalah keluarga Abdul Malik bin Alawi (Ammul fagih) bin Muhammad (Shahib Mirbath). Mereka datang dari Hadhramaut ke India pada akhir abad ke-6 Hijriyah. Keturunan Abdul Malik telah mempunyai hubungan baik dengan kerajaan India, para pembesar dan para ulama di sana. Tak heran bila keluarga ini bisa menyebar di segala penjuru India. Keluarga besar ini punya nilai penting bagi masyarakat Muslim India. Keluarga Abdul Malik Juga mendapat julukan Ali Adzamat Khan.
Salah satu cucu Abdul Malik merupakan salah satu dari Wali Songo yang masyhur di Asia Tenggara. Yaitu Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik. Ia mempunyai pengaruh besar pada kerajaan India. Terbukti dengan jabatannya sebagai salah satu menteri di India dalam waktu yang cukup lama. Itu berlangsung sebelum terjadi gejolak politik di India yang menyebabkan putra-putranya mengungsi ke China, Siam (Thailand) dan Kamboja.
Di Kamboja, Jamaludin al-Husein bin Ahmad kawin dengan salah satu puteri Raja Kamboja yang telah masuk Islam bersama ayahnya. Dari perkawinannya lahir Ibrahim al-Ghazi. Dialah yang menjadi panglima perang sekaligus ilmuwan yang memperluas kekuasaanya sampai ke China, Malasyia, dan Sumatra. Ia lalu menikah dengan salah satu putri Raja China, dan mempunyai putra bernama Rahmatullah dan Ishaq. Ishaq inilah yang dikenal di Jawa dengan sebutan Maulana Ishaq (ayahanda Sunan Giri) yang mempunyai kedudukan tinggi di pemerintahan Raja Minak Jinggo, salah satu raja Banyuwangi Jawa Timur.
Maulana Ishaq mengawini salah satu puteri Raja Minak Jinggo yang masuk Islam dan berhasil menyembuhkan penyakit kanker sang puteri. Dari pernikahan ini lahir seorang putra yang diberi nama Ainul Yaqin, seorang dai yang tidak asing lagi. Ia juga dikenal sebagai pejuang dan mempunyai pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Asia Tenggara.
Sedangkan Rahmatullah atau Raden Rahmat yang lebih populer sebagai Sunan Ampel mempunyai hubungan baik dengan pemerintahan Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu. Sebuah kerajaan yang sangat berpengaruh di Asia Tenggara. Raden Rahmat mempunyai hubungan dengan salah satu putera raja, yaitu Raden Joyo Waseso yang masuk Islam di tangan Raden Rahmat dan berganti nama Abdul Fatah (Raden Fatah). Ia ikut berperang melawan ayahnya sendiri dan berhasil mengalahkannya serta merebut kekuasaan ayahnya di tahun 792 Hijriyah. Ia lalu mula merintis berdirinya kerajaan Islam pertama kali di Jawa yang terkenal dengan Kerajaan Demak. Dari sini Agama Islam mulai tersebar secara besar-besaran.
Raden Rahmat mempunyai banyak putra, antara lain :
1.    Ja’far Shadiq. Ia salah satu panglima pasukan Raden Fatah yang dikirim langsung untuk menggempur Majapahit.
2.    Ibrahim. Ia salah satu panglima Raden Fatah yang mendapatkan mandat untuk berperang dan mendampingi Raden Fatah.
3.    Zainal Abidin. Ia adalah perdana menteri ke-2 Raden Fatah. Dalam pemerintahan, ia dikenal tegas pada para penyembah berhala. Ali Khairuddin, salah satu ahli sejarah menyebutkan, Maulana Zainal Abidin mengumpulkan patung-patung di Jawa yang telah disembah  hingga mencapai 650 patung, lalu dibuang di laut Madura dan laut Bawean. Ia juga menaklukkan seluruh penyembah berhala di bawah kekuasaanya. Para penyembah berhala dihadapkan pada dua opsi, masuk Islam, atau membayar jizyah (pajak). Sebagian ada yang masuk Islam dan sebagian lagi membayar jizyah dengan konsekuensi pengamanan dari pemerintahan.
Raja-raja Aceh juga keturunan Bani Alawi. Salah satu raja yang paling berpengaruh dalam penyebaran Islam adalah Raja Malik Kamil yang wafat pada tahun 607 H. Kemudian al-Malik as-Shalih yang wafat pada tahun 696 H. Lalu putranya, Sulthan Muhammad az-Dhahir yang wafat pada tahun 726 H. Diteruskan oleh putranya Ahmad yang wafat di tahun 809 H. Dari Ahmad inilah nasab (silsilah keturunan) raja-raja Brunai dan Jaremen Kuno, Baruwak, Salwa, Saibu , Mindanao, dan Kanawa.
Di Philipina, Syarif Khabogsan (Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin) berpengaruh dalam penyebaran Islam. Ia mendirikan pemerintahan Islam di sana. Ali Zainal Abidin ayah Kabogsan hijrah dari Hadhramaut ke Johor dan menikah dengan puteri Raja Iskandar Syah, Raja Johor yang kemudian mempunyai tiga orang putera. Yang bungsu benama Muhammad bin Ali yang terkenal dengan sebutan Kaboghsan yang berhijrah untuk dakwah, sampai ke daerah Mindanao di Philipina. Kemudian mulailah penyebarkan Islam sekaligus perintisan negara Islam di sana, berikut perlawanan terhadap kolonialisme barat dalam waktu yang cukup lama.
Di Salwa, Syarif Abu Bakar Zainal Abidin yang sampai ke sana tahun  853 H  melakukan pergantian pemerintahan setelah perkawinannya dengan satu-satunya puteri Raja Solo. Beliau lalu menyebarkan Islam di negara tersebut. Para penggantinya dapat meluaskan wilayah kekuasaanya dan melakukan perlawanan dengan kolonialisme Barat pada saat itu.
Ikhtishar
1.    Hadharim punya pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Hal ini diaktensi dalam seminar yang diselenggarakan di Medan Sumatra Utara, 17-20 Maret 1963. Seminar ini mengangkat tema tentang masuknya Islam ke Indonesia yang dihadiri oleh para pakar sejarah, cendekiawan dan budayawan Indonesia. Mereka memberikan resultasi bahwa Islam masuk ke Indonesia kali pertama dibawa oleh Bani Alawi dari Hadhramaut yang bermazhab Syafii.
2.    Penyebaran Islam di Indonesia dilakukan dengan berbagai metode. Di antaranya dakwah pada masyarakat secara langsung, lewat politik, dan lain-lain.
3.    Bidang politik bertujuan untuk mem-back up dakwah dan melindungi segala aktivitas dakwah dan para dai dari chaos dan ketidakadilan. Hingga dapat meluaskan lapangan dakwahnya. Karena, rakyat biasanya selalu mengikuti agama rajanya.
4.    Mereka yang biasanya mendapatkan jabatan politik atau militer menjadi mediator para ulama dan dai yang melakukan dakwah pada elit pemerintahan dengan hikmah dan kebajikan. Mereka punya sifat mulia yang membuat para pembesar pemerintahan menaruh kepercayaan yang besar.
4. Perlawanan Terhadap Kolonial Eropa

Karena perang yang terjadi antara kaum muslimin dan bangsa Eropa terlalu lama, seperti halnya yang terjadi di kepulauan Ibriya dan Eropa Timur, mulailah bangsa Portugis dan Spanyol mengeluarkan daya upayanya untuk segera menaklukan kaum muslimin. Termasuk menguasai sumber-sumber kekayaan dan potensi alam dalam peperangan.
Perlawanan fisik, ekonomi, atau agama dimulai dengan merusak jalur dagang kaum muslimin antara barat dan timur. Juga dengan menguasai jalan-jalan penyambung dunia dan sumber-sumber kekayaan di bagian timur. Menurut mereka, itulah cara yang dapat mengalahkan Islam dan penganutnya.
Tetapi ketika Portugis sampai ke daerah timur, ternyata bangsa Arab telah sampai lebih dulu. Apalagi banyak bermunculan kerajaan-kerajaan Islam. Hal ini membuat orang Portugis geram dan mengacaukan proyek mereka yang ingin menguasai kekayaan daerah-daerah timur.
Mereka lalu berusaha menghilangkan pengaruh orang Arab dan Islam dari daerah tersebut. Jenderal Portugis De Elbokareik, dalam pidato di depan tentaranya mengatakan, “hanya dengan menjauhkan kaum muslimin dari perdagangan rempah-rempah, bangsa Portugal bisa melemahkan kekuatan Islam. Dan untuk melaksanakan khidmat kepada Tuhan, kita harus mengusir bangsa Mur (Arab) dan mematikan api agama Muhammad. Jika berhasil, niscaya api tersebut tidak akan tersebar selamanya”.
Mulailah Hadharim bahu-membahu dengan sesama muslim dengan determinasi tinggi berjuang melawan kolonialisme yang tamak pada kekayaan Indonesia. Hadharim memulai menceburkan diri dalam peperangan melawan bangsa Portugis dan sekutu-sekutunya, para raja Hindu. Di antara pahlawan yang sangat bersaja adalah Hidayatullah bin Abdullah bin Ali (Nuruddin) dari keluarga Abdul Malik al-Alawi yang sebelumnya berhasil mengusir Portugis dari tanah kelahiranya, Kamboja. Setelah itu ia menetap di kerajaan Islam Demak. Pada tahun 1526 Sultan Trenggono bin Sultan Abdul Fattah Demak memilih Hidayatullah sebagai panglima pasukan tempurnya yang dipersiapkan untuk menyerang kerajaan Hindu Pajajaran di Jawa Barat. Kerajaan ini telah menyepakati kerjasama dengan pemerintahan Portugis melawan Islam.
Pasukan yang dipimpin Hidayatullah berhasil memenangkan pertempuran. Kota Sunda Kelapa dapat dikuasai dan dirubah namanya menjadi Jaya Karta. Saat ini Jaya Karta menjadi Ibukota Negara Indonesia dengan nama Jakarta. Kemudian pasukan Portugis yang dipimpin Jendral Henrik Reem datang, sehingga terjadi pertempuran sengit antara pasukan Hidayatullah dan Portugis. Secara gemilang, peperangan itu berhasil dimenangkan pasukan Hidayatullah. Ia lalu dijuluki Fatahillah. Sedang orang-orang Portugal menyebutnya Faletehan.
Perjuangan Hidayatulah melawan Portugis dan para penyembah berhala ini berlangsung terus menerus hingga tahun 959 H atau 1525 M. Ia mengundurkan diri dari pemerintahan untuk berdakwah. Ia lalu memberikan tampuk pemerintahan kerajaan Banten kepada puteranya untuk meneruskan perjuangan melawan Portugis. Juga Belanda pada tahun 1833. Sampai akhirnya, kerajaan Banten menyerah pada pemerintahan Belanda di Surabaya.
Di Philipina, perjuangan melawan penjajah Spanyol juga dipimpin oleh keluarga besar Syarif Abu Bakar bin Zainal Abidin. Peperangan ini berlangsung sampai tiga abad lamanya.
Di Palembang, perjuangan melawan penjajah Belanda dilakukan Sultan Badruddin yang terkenal agamis dan pemberani dalam membela Islam. Tetapi setelah jatuhnya ibukota Palembang ke tangan Belanda, penjajah mengasingkan Sultan Badruddin dan perdana menterinya, Umar bin Abdullah as-Segaf, ke pulau Ternate pada tahun 1821 M.
Termasuk Hadharim yang melakukan perjuangan ketika awal kedatangan penjajah Belanda adalah Amir al-Wahab bin Sulaiman bin Abdurrahman bin Muhammad bin Umar Basyaiban al-Alawi. Kakeknya, Abdurrahman, datang dari Qasam Hadhramaut menuju Cirebon dan kawin dengan puteri Raja Cirebon. Dari perkawinannya itu, ia mempunyai dua putera, Abdurrahim dan Sulaiman. Salah satu putera Sulaiman adalah Hasan yang terkenal dengan sebutan Pangeran Agung bin Sulaiman yang terkenal sebagai pejuang melawan pendudukan Belanda.
Abdurrahman bin Husain al-Qadri al-Alawi adalah nama lain yang turut terjun berperang melawan Angkatan Laut Belanda dan Inggris. Ia berhasil mendirikan kerajaan Pontianak. Berkat kegigihannya, perserikatan Hindia Timur Belanda mengakuinya sebagai Raja Pontianak.
Di India, perjuangan melawan penjajah Eropa ini juga dilakukan oleh kelompok Mabela dengan keberanian tinggi. Sulthan Ghalib bin Awadh al-Quaiti mengatakan, “ingatkah kalian dengan celaan Portugis, Belanda, Perancis, dan Inggris. Pemerintahan mereka sangat tertekan dengan perlawanan sengit kelompok  ini.”
Gerakan kelompok militan ini mendapat dukungan dari beberapa Ulama yang dikenal dengan gelar Tanggul yang berarti sayyid. Yang dimaksud adalah para sayyid keturunan Bani Alawi dari Hadhramaut. Mengenai keberanian kelompok Mabela, seperti disebutkan sumber dari Belanda dan Perancis pada masa itu, “mereka kelompok yang berani sekali dalam membela Islam. Mereka tidak pernah menyerah sama sekali dan lebih berani mati dalam perjuangan membela negerinya.” Apalagi siasat mereka dalam berperang dan keorganisasiannya mirip dengan Suku Moro Philipina.
Etnis Arab Hadhramaut terus bertambah perkembangannya di India pada masa-masa setelah itu sebagai tentara di berbagai negara kecil di al-Marotsa yang telah memeluk Islam selama kurang lebih 40 tahun. Tentara inilah yang berjuang melawan pendudukan Inggris di India yang berjumlah sampai 6000 tentara.
Hadharim di sana tidak hanya menjadi tentara ekstra bagi India, namun memegang kendali dan sebagiannya menjadi panglima perang. Hal ini bisa diketahui dari cerita kolonel Inggris dalam memorinya ketika berperang melawan Hadharim di peperangan yang terjadi antara tentara al-Marotsa dan tentara Inggris, bahwa kalangan elit tentara Inggris menaruh segan terhadap tentara Basyafa’ dan raja-raja. Hal itu karena banyaknya tentara Hadharim di sana. Lebih-lebih orang Arab ini terkenal dengan kemampuanya bertahan dan memukul mundur musuh. Suatu hal yang diakui oleh tentara-tentara Inggris.
Reinald Borton mengatakan, “tidak ada tentara di dunia ini yang seberani dan sesolid tentara Arab. Walaupun mereka tidak mempunyai kemampuan banyak dalam taktik peperangan, tetapi pada setiap jiwa mereka ada keyakinan tinggi yang tidak akan hilang selagi mereka masih hidup.”
Tentara Inggris berperang melawan tentara al-Marotsa selama tiga kali. Dan semuanya memaksa mereka menuai kerugian besar. Pertama pada tahun 1775-1782. Kedua pada tahun 1802-1805. Di tahun ini tentara Inggris dapat mengalahkan tentara al-Marotsa di bawah komando Sandiya dan Baransala.
Namun Basyayfa’ Raji Rawa kedua yang menyatukan seluruh tentara al-Marotsa mencoba melakukan perlawanan kembali dan ingin mengembalikan kemerdekaan negerinya. Ia mulai menyalakan api peperangan ketiga. Namun tentara Inggris lambat laun bisa mengalahkan mereka dan mampu menguasai tentara Basyayfa pada tahun 1818. Ini ditandai dengan penyerahan diri panglima Basyaifa.
Pada tahun-tahun berikutnya terjadi kekosongan kepemimpinan (vacum of power) di pusat komando pasukan al-Marotsa yang berakibat terkotak-kotaknya pasukan tersebut. Hadharim banyak yang mengungsi ke Haidar Abad. Sebagian ada yang dipaksa pulang oleh pemerintahan Ingggris ke Hadhramaut. Salah satu pemuka masyarakat yang ikut bergabung di Haidar Abad adalah Umar bin Awadh al-Quaiti.
Ikhtishar
1. Hadharim mampu mencapai kedudukan tinggi, baik di dalam militer ataupun pemerintahan. Terbukti, salah satu dari mereka ada yang menjadi panglima perang atau raja yang nota bene mampu melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Eropa.
2. Keberadaan hadharim di perpolitikan, tentara, atau sosial mampu mempersulit kolonialisme dalam menguasai Islam dan pengikutnya. Terlebih kaum kolonialis itu berhasil menggandeng kerajaan Hindu dan Budha untuk bekerjasama. Mayoritas orang Arab, sebagai pemuka masyarakat, mengobarkan sifat perjuangan itu pada kaum pribumi.
3. Perjuangan Hadharim melawan kolonialisme Belanda atau Inggris menjadikan suatu ketakutan tersendiri bagi mereka pada Arab dan Hadharim. Hal itu membuahkan hasil perubahan politik kolonialisme dalam berhubungan dengan Arab atau hadharim di India dan Asia Tenggara.
sumber:indo hadhramaut

Tokoh Pendahulu Walisongo


HadramautSyekh Jumadil Kubro
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]
Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbar adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]
Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.
Syekh Quro
Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.
Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.
Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.
Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]
Teori Keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut:
* L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[6] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
* van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
* Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
* Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
* Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori Keturunan Cina
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[rujukan?] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [7].
Sumber tertulis tentang Walisongo
1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
sumber: indo hadhramaut

Mengenal Asal Usul Para Habib di Nusantara


Ya Tarim wa Ahlaha
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Syatri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bangsa Arab terbagi menjadi tiga golongan : al-Ba’idah yaitu bangsa Arab terdahulu dan kabar berita tentang mereka telah terputus karena sudah terlalu lama, al-’Aribah yaitu orang-orang Arab Yaman keturunan Qahthan, al-Musta’ribah yaitu keturunan Nabi Ismail as (Adnaniyah). Karena golongan yang pertama sudah tidak ada lagi maka para ahli sejarah hanya mengkaji golongan yang kedua dan ketiga, yaitu bani Qahthan dan bani Ismail. Bani Ismail as adalah keturunan dari Nabi Ismail as anak Nabi Ibrahim as yang mula-mula berdiam di kota Ur yang merupakan kota di Babylonia. Nabi Ibrahim as meninggalkan kota Ur dan berpindah ke Palestina. Setelah Nabi Ibrahim as mempunyai anak dari Siti Hajar yang bernama Ismail as, mereka pindah ke Hijaz tepatnya di Wadi Mekkah.
Nabi Ismail as mempunyai putera sebanyak dua belas orang, masing-masing mempunyai keturunan. Tetapi kemudian keturunan mereka terputus, hanya keturunan Adnan-lah yang berkembang biak, sebab itu bani Ismail ini dinamai juga bani Adnan. Sedangkan Bani Qahthan menurunkan suku Tajib dan Sodaf. Bani Qahthan berasal dari Mesopotamia dan kemudian pindah ke negeri Yaman. Penduduk asli Yaman adalah kaum ‘Ad yang kepada mereka diutus Nabi Hud as. Mereka dibinasakan oleh Allah swt dengan menurunkan angin yang amat keras. Kaum ‘Ad yang dibinasakan ini disebut kaum ‘Ad pertama, sedangkan kaum ‘Ad yang masih mengikuti Nabi Hud as disebut kaum ‘Ad kedua.
Sesudah Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah di Mekkah, jadilah kota Mekkah itu kota yang paling masyhur di tanah Hijaz, dan berdatanganlah orang dari segenap penjuru jazirah Arab ke Mekkah untuk naik haji dan ziarah ke Baitullah. Karena itu lama kelamaan kota Mekkah menjadi pusat perniagaan.
Pertama kali kota Mekkah dipegang oleh bani Adnan, karena itu bani Adnanlah yang memelihara dan menjaga Ka’bah. Sesudah runtuhnya kerajaan Sabaiah, maka berpindahlah satu suku yang bernama Khuza’ah dari Yaman ke Mekkah dan mereka merampas kota Mekkah dari tangan bani Adnan. Dengan demikian berpindahlah penjagaan Baitullah dari bani Adnan kepada bani Khuza’ah.
Di kemudian hari, dari suku Quraisy terdapat seorang pemimpin yang kuat dan cerdas, namanya Qushai. Qushai ini beruntung dapat merebut kunci Ka’bah dari bani Khuza’ah dan kemudian mengusir bani Khuza’ah itu dari Mekkah. Maka jatuhlah kembali kekuasaan di Mekkah ke tangan bani Adnan. Kemudian Qushai diangkat menjadi raja yang di tangannya terhimpun kekuasaan keagamaan dan keduniaan. Sesudah Qushai meninggal kekuasaan tersebut dipegang oleh keturunannya yang bernama Abdi Manaf.
Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim.Hasyim adalah keluarga yang dipilih oleh Allah yang diantaranya muncul Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah saw pernah bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah memilih Isma’il dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim. “.(H.R. Muslim dan at-Turmudzy).
Dari al-’Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku diantara sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa diantara mereka dan sebaik-baik keluarga diantara mereka”. (Diriwayatkan oleh at-Turmudzy).
Dari keturunan inilah Allah swt telah menerbitkan cahaya cemerlang, menerangi semesta alam, dikarenakan agama Islam yang dibawa keturunan Adnan kepada masyarakat Hadramaut yang berasal dari keturunan Qahthan. Diantara keturunan Adnan yang berada di Hadramaut adalah kaum Alawiyin, sebelumnya mereka menetap di Basrah, Iraq.
Tokoh pertama golongan Alawi di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa yang dijuluki al-Muhajir. Kepindahannya ke Hadramaut disebabkan kekuasaan diktator kekhalifahan Bani Abbas yang secara turun menurun memimpin umat Islam, mengakibatkan rasa ketidakpuasan di kalangan rakyat. Rakyat mengharapkan salah satu keturunan Rasulullah dapat memimpin mereka. Akibat dari kepemimpinan yang diktator, banyak kaum muslim berhijrah, menjauhkan diri dari pusat pemerintahan di Bagdad dan menetap di Hadramaut. Imam Ahmad bin Isa keadaannya sama dengan para sesepuhnya. Beliau seorang ‘alim‘amil (mengamalkan ilmunya), hidup bersih dan wara’ (pantang bergelimang dalam soal keduniaan). Di Iraq beliau hidup terhormat dan disegani, mempunyai kedudukan terpandang dan mempunyai kekayaan cukup banyak. Mereka hijrah ke Hadramaut bukan karena dimusuhi atau dikejar-kejar tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan aqidah keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadramaut mengikuti kakeknya Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah.
Mengenai hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Risalah al-Muawanah mengatakan : Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin al-Imam Ja’far Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bid’ah, pengobralan hawa nafsu dan perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari negaranya (Iraq) dari tempat yang satu ke tempat yang lain hingga sampai di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat.
Ketika beliau berangkat hijrah dari Iraq ke Hijaz pada tahun 317 H beliau ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin ‘Ali al-‘Uraidhy, bersama putera bungsunya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal dengan nama Ubaidillah. Turut serta dalam hijrah itu cucu beliau yang bernama Ismail bin Abdullah yang dijuluki dengan Bashriy. Turut pula dua anak lelaki dari paman beliau dan orang-orang yang bukan dari kerabat dekatnya. Mereka merupakan rombongan yang terdiri dari 70 orang. Imam al-Muhajir membawa sebagian dari harta kekayaannya dan beberapa ekor unta ternaknya. Sedangkan putera-puteranya yang lain ditinggalkan menetap di Iraq.
Tibalah Imam al-Muhajir di Madinah al-Munawwarah dan tinggal di sana selama satu tahun. Pada tahun itulah kaum Qaramithah memasuki kota Makkah dan menguasainya. Mereka meletakkan pedang di al-Hajij dan memindahkan Hajarul-Aswad dari tempatnya ke tempat lain yang dirahasiakan. Pada tahun berikutnya al-Muhajir berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Makkah beliau menuju Asir lalu ke Yaman. Di Yaman beliau meninggalkan anak pamannya yang bernama Sayyid Muhammad bin Sulaiman, datuk kaum Sayyid al-Ahdal. Kemudian Imam al-Muhajir berangkat menuju Hadramaut dan menetap di Husaisah. Imam al-Muhajir menetap di Hadramaut atas dasar pengarahan dari Allah SWT, sebab kenyataan menunjukkan, setelah beliau hijrah ke negeri itu di sana memancar cahaya terang sesudah beberapa lama gelap gulita. Penduduk Yaman khususnya Hadramaut yang mengaku penduduk asli dari keturunan Qahthan, yang awalnya bodoh dan sesat berubah menjadi mengenal ilmu dan berjalan di atas syariat Islam yang sebenarnya. Imam al-Muhajir dan keturunannya berhasil menundukkan masyarakat Hadramaut yang mempunyai faham Khawarij dengan dalil dan argumentasi.
Maka masuklah Imam al-Muhajir ke Hadramaut. Ia bersikap lemah lembut dalam da’wahnya dan menempuh cara yang halus dan mengeluarkan hartanya. Maka banyak orang-orang Khawarij yang datang kepadanya dan taubat di tangannya setelah mereka berusaha menentang dan mencacinya. Ia juga menolong qabilah al-Masyaikh al-Afif. Dan bergabung juga dengannya qabilah Kindah dan Madij. Mereka meninggalkan madzhab Ibadhiy dan bercampur dengan orang-orang yang datang dari Iraq.
Kaum Khawarij tidak mengakui atau mengingkari Imam al-Muhajir berasal dari keturunan Nabi Muhammad saw. Untuk memantapkan kepastian nasabnya sebagai keturunan Rasulullah saw, sayyid Ali bin Muhammad bin Alwi berangkat ke Iraq. Di sanalah ia beroleh kesaksian lebih dari seratus orang terpercaya dari mereka yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kesaksian mereka yang mantap ini lebih dimantapkan lagi di Makkah dan beroleh kesaksian dari rombongan haji Hadramaut sendiri. Dalam upacara kesaksian itu hadir beberapa orang kaum Khawarij, lalu mereka ini menyampaikan berita tentang kesaksian itu ke Hadramaut.
Dan diantara ulama ahli nasab dan sejarah yang telah memberikan perhatiannya terhadap kebenaran nasab keturunan al-Imam al-Muhajir dan silsilah mereka yang mulia, ialah : pertama, al-Allamah Abu Nash Sahal bin Abdullah al-Bukhori dalam kitabnya Sirru al-Silsilah al-Alawiyah tahun 341hijriyah. Kedua, al-Nasabah Abu Hasan Najmuddin Ali bin Abi al-Ghonaim Muhammad bin Ali al-Amiri al-Bashri, wafat tahun 443. Di antara kitabnya adalah al-Majdi wa al-Mabsuth wa al-MusajjarKetiga, al-Allamah Muhammad bin Ja’far al-Ubaidili dalam kitabnya Tahdzib al-Ansab, wafat tahun 435 hijriyah. Keempat, al-Allamah al-Yamani Abu al-Abbas al-Syarajji dalam kitabnya Thabaqat al-Khawash Ahl al-Shidqi wa al-Ikhlas. Di dalamnya disebutkan mengenai hijrahnya Saadah keluarga al-Ahdal dan Bani Qudaimi, disebutkan awal pertama mereka tinggal di daerah Wadi Saham, Wadi Surdud, dan Hadramaut.
Dan terdapat pula dari beberapa ulama nasab yang mempunyai catatan-catatan ringkas mengenai nasab keturunan Rasulullah yang mulia ialah al-Imam al-Nasabah al-Murtadho al-Zubaidi dan al-Nasabah Ibnu Anbah pengarang kitab Umdah al-Thalib.Selain mereka banyak pula yang mengadakan penelitian tentang nasab keturunan Rasulullah saw yang mulia, hasilnya mereka mendapatkan kebenaran yang tidak diragukan lagi, sebagaimana hukum syar’i yang telah menjelaskan masalah interaksi sosial dan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan keberadaan mereka dalam bentuk dalil-dalil yang kuat yang menjelaskan kemuliaan nasab mereka, serta kepemimpinan mereka di wilayah Arab, Hindi, Turki, Afrika Timur, Asia, semuanya merupakan dalil yang kuat tentang keberadaan mereka.
Di antara peneliti tersebut ialah al-Khazraji, al-Yafi’, al-Awaji, Ibnu Abi al-Hub, al-Sakhowi, Abu Fadhol, Abu Ubbad, Ibnu Isa al-Tarimi, al-Junaid, Ibnu Abi al-Hissan, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Samuroh, Ibnu Kabban, Bamahramah, Ibnu Fahd, Ibnu Aqilah, al-Marwani al-Tarimi, dan lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Sayid Dhiya’ Shahab dalam bukunya ‘al-Imam al-Muhajir’. Terakhir, nasab keturunan Rasulullah saw dibahas oleh Sayid Abdullah bin Hasan Bilfaqih dalam kitab Tafnid al-Maza’im, Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad dalam kitab al-Qaul al-Fashlu dan al-Syamil fi Tarikh Hadramut, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah al-Saqqaf dalam kitab Badhoi’ al-Tabut.
Dengan demikian mantaplah sudah pengakuan masyarakat luas mengenai keutamaan para kaum ahlul-bait sebagai keturunan Rasulullah saw melalui puteri beliau Siti Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw bersabda :
‘Setiap putra ibu akan bergabung nasabnya kepada ashabahnya (pihak ayah), kecuali anak-anak Fathimah, Akulah wali mereka dan akulah ashabah mereka’.
Mengenal Asal Usul Para Habib di Nusantara
Al-allamah Yusuf bin Ismail al-Nabhany dalam bukunya Riyadhul Jannah mengatakan :‘Kaum Sayyid Baalawi oleh umat Muhammad saw sepanjang zaman dan di semua negeri telah diakui bulat sebagai ahlul-bait nubuwah yang sah, baik ditilik dari sudut keturunan maupun kekerabatan, dan mereka itu adalah orang-orang yang paling tinggi ilmu pengetahuan agamanya, paling banyak keutamaannya dan paling tinggi budi pekertinya’.
Ahmad bin Isa wafat di Husaisah pada tahun 345 Hijriah. Beliau mempunyai dua orang putera yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang putera yaitu Alwi, Jadid dan Ismail (Bashriy). Dalam tahun-tahun terakhir abad ke 6 H keturunan Ismail (salah satu keturunannya ialah Syekh Salim Bin Bashriy) dan Jadid (salah satu keturunannya ialah al-Imam Abi Jadid Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Jadid) punah dalam sejarah, sedangkan keturunan Alwi tetap lestari. Mereka menamakan diri dengan nama sesepuhnya Alwi, yang kemudian dikenal dengan kaum Sayyid Alawiyin.
Kita dapat menyaksikan bahwa sekarang anak cucu dan keturunan Imam Ahmad bin Isa menyebar di berbagai pelosok Hadramaut, dan di daerah pesisir lautan Hindia, seperti Asia Tenggara, India dan Afrika Timur. Para da’i dan ulama-ulama mereka mempunyai peranan yang besar di tanah air mereka yang baru. Karena itu para penguasa, sultan, dan penduduk-penduduknya memuliakan mereka karena karya mereka yang baik dan agung.
Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Lalu syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi gelar ‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan Wali Songo. Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan propinsi Aceh.
Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan almarhum sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw.
Orang-orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad 18, sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba di bagian Timur Nusantara pada tahun 1870. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada tahun 1819 dan kemajuan besar dalam bidang perdagangan membuat kota itu menggantikan kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat imigrasi bangsa Arab. Sejak pembangunan pelayaran dengan kapal uap di antara Singapura dan Arab, Aceh bahkan menjadi tidak penting sama sekali.
Di pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya. Di Madura hanya ada satu yaitu di Sumenep.. Koloni Arab di Surabaya dianggap sebagai pusat koloni di pulau Jawa bagian Timur. Koloni Arab lain yang cukup besar berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki dan Banyuwangi. Koloni Arab di Besuki mencakup pula orang Arab yang menetap di kota Panarukan dan Bondowoso.
Koloni-koloni Arab Hadramaut khususnya Alawiyin yang berada lokasi pesisir tetap menggunakan nama-nama famili mereka, sedangkan Alawiyin yang tidak dapat pindah ke pesisir karena berbagai sebab kemudian berganti nama dengan nama Jawa, mereka itu banyak yang berasal dari keluarga Bayaiban, Ba’bud, Bin Yahya dan lainnya.
Sumber: Pondok Habib

Minggu, 28 Februari 2016

Nadhom Al-Asmaul Husna

Sesungguhnya Allah mempunyai 99 nama, barangsiapa memeliharanya (membaca setiap hari) maka ia pasti masuk surga (H.R. Turmudzi)
نظم الأسمآء الحسنی
๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐
Berikut ini adalah Teks Nadhom Al-Asmaul Husna
بسم الله الرحمن الرحيم
Bismillâhir-rohmânir-rohîm
بسم الله بدأنا ¤ والحمد لربنا
Bismillâhi bada,nâ walhamdu lirobbinâ
والصلاة والسلام ¤ للنبي حبيبنا
Washsholâtu wassalâmu lin-Nabî habîbinâ
ياالله ياربنا ¤ أنت مقصودنا
Yâ Allâh Yâ Robbanâ Anta maqshûdunâ
رضاك مطلوبنا ¤ دنيا وأخرانا
Ridlôka mathlûbunâ dunyâ wa ukhrônâ
يا رحمن يا رحيم ¤ يا ملك يا قدوس
Yâ Rohmânu Yâ Rohîmu Yâ Maliku Yâ Quddûsu
يا سلام يا مؤمن ¤ يا مهيمن يا عزيز
Yâ Salâmu Yâ Mu,minu Yâ Muhayminu Yâ ‘Azîzu
يا جبار متگبر ¤ يا خالق يا بارئ
Yâ Jabbâru Mutakabbiru Yâ Khôliqu Yâ Bâri-u
يا مصور يا غفار ¤ يا قهار يا وهاب
Yâ Mushowwiru Yâ Ghoffâru Yâ Qohhâru Yâ Wahhâbu
يا رزاق يا فتاح ¤ يا عليم يا قابض
Yâ Rozzâqu Yâ Fattâhu Yâ ‘Alîmu Yâ Qôbidlu
يا باسط يا خافض ¤ يا رافع يا معز
Yâ Bâsithu Yâ Khôfidlu Yâ Rôfiqu Yâ Mu’izzu
يا مذل يا سميع ¤ يا بصير يا حگم
Yâ Mudzillu Yâ Samî’u Yâ Bashîru Yâ Hakam
يا عدل يا لطيف ¤ يا خبير يا حليم
Yâ ‘Ad-lu Yâ Lathîfu Yâ Khobîru Yâ halîmu
يا عظيم يا غفور ¤ يا شکور يا علي
Yâ ‘Adhîmu Yâ Ghofûru Yâ Syakûru Yâ ‘Aliyyu
يا گبير يا حفيظ ¤ يا مقيت يا حسيب
Yâ Kabîru Yâ Hafîdhu Yâ Muqîtu Yâ Hasîbu
يا جليل يا گريم ¤ يا رقيب يا مجيب
Yâ Jalîlu Yâ Karîmu Yâ Roqîbu Yâ Mujîbu
يا واسع يا حکيم ¤ يا ودود يا مجيد
Yâ Wâsi’u Yâ Hakîmu Yâ Wadûdu Yâ Majîdu
يا باعث يا شهيد ¤ يا حق يا وکيل 
Yâ Bâ’itsu Yâ Syahîdu Yâ Haqqu Yâ Wakîlu
يا قوي يا متين ¤ يا ولي يا حميد
Yâ Qowiyyu Yâ Matînu Yâ Waliyyu Yâ Hamîdu
يا محصي يا مبدء ¤ يا معيد يا محيي
Yâ Muhshî Yâ Mubdi-u Yâ Mu’îdu Yâ Muhyî
يا مميت يا حي ¤ يا قيوم يا واجد
Yâ Mumîtu Yâ Hayyu Yâ Qoyyûmu Yâ Wâjidu
يا ماجد يا واحد ¤ يا أحد يا صمد
Yâ Mâjidu Yâ Wâhidu Yâ Ahadu Yâ Shomadu
يا قادر يا مقتدر ¤ يا مقدم يا مؤخر
Yâ Qôdiru Yâ Muqtadiru Yâ Muqoddimu Yâ Mu-akhkhiru
يا أول يا أخر ¤ يا ظاهر يا باطن
Yâ Awwalu Yâ Âkhiru Yâ Dhôhiru Yâ Bâthinu
يا والي متعالی ¤ يا بر يا تواب
Yâ Wâliyyu Yâ Muta’âlî Yâ Barru Yâ Tawwâb
يا منتقم يا عفو ¤ يا رؤوف يا مالك
Yâ Muntaqimu Yâ ‘Afuwwu Yâ Ro-ûfu Yâ Mâliku
مالك الملك ¤ ذا الجلال والإکرام
Mâlikal Mulki Dzâl Jalâlî wal Ikrômi
يا مقسط يا جامع ¤ يا غني يا مغني
Yâ Muqsithu Yâ Jâmi’u Yâ Ghoniyyu Yâ Mughnî
يا مانع يا ضآر ¤ يا نافع يا نور
Yâ Mâni’u Yâ Dloõrru Yâ Nâfî’u Yâ Nûru
يا هادى يا بديع ¤ يا باقي يا وارث
Yâ Hâdî Yâ Badî’u Yâ Bâqî Yâ Wâritsu
يا رشيد يا صبور ¤ عز جل ذکره
Yâ Rosyîdu Yâ Shobûru   ‘Azza Jalla dzikruhu
***
¤ الدعآء ¤
بأسمآئك الحسنی ؛ إغفر لنا ذنوبنا
Bi Asmã-ikal husnâ ighfir lanâ dzunûbanâ
ولوالدينا ؛ وذرياتنا
Wa liwâlidînâ wa dzurriyyâtinâ
گفر عن سيئاتنا ؛ واستر علی عيوبنا
Kaffir ‘an sayyi-âtinâ wastur ‘alâ ‘uyûbinâ
واجبر علی نقصاننا ؛ وارفع درجاتنا
Wajbur ‘alâ nuqshôninâ warfa’ darojâtinâ
وزدنا علما نافعا ؛ و رزقا واسعا
Wazidnâ ‘ilmân nâfi’ân wa rizqôn wâsi’ân
حلالا طيبا ؛ وعملا صالحا
Halâlân thoyyibân wa ‘amalân shôlihân
و نور قلوبنا ؛ ويسر أمورنا
Wa nawwir qulûbanâ wa yassir umûronâ
و صحح أجسادنا ؛ دآئم حياتنا
Wa shohhih ajsâdanâ dã-ima hayâtinâ
إلی الخير قربنا ؛ عن الشر باعدنا
Ilâl khoiri qorribnâ ‘anisy-syarri bâ’idnâ
والقربی رجاؤنا ؛ أخيرا نلنا المنى
Wal qurbâ rojâ-unâ akhîrôn nilnâl munâ
بلغ مقاصدنا ؛ واقض حوائجنا
Balligh maqôshidanâ waqdli hawâ-ijanâ
والحمد لإلهنا ؛ الذی هدانا 
Walhamdu li ilâhinâ alladzî hadânâ
صل وسلم علی طه خليل الرحمن
Sholli wa sallim ‘alâ Thôhâ kholîlir-rohmâni
وأله وصحبه إلی أخر الزمان
Wa âlihî wa shohbihî ilâ âkhiriz-zamân

Kamis, 12 November 2015

HASAN BASHRI DAN GADIS KECIL

image


SORE itu Hasan Bashri, seorang tabi’in terkemuka, sedang duduk di teras rumahnya. Tak lama kemudian lewat iringan jenazah dengan rombongan pelayat dibelakangnya. Dibawah keranda yang diusung, berjalan seorang gadis kecil sambil terisak-isak. Ia adalah putri orang yang sedang meninggal itu.

Keesokan harinya, usai salat subuh, gadis kecil itu bergegas lagi ke makam ayahnya. Hasan Bashri mengikutinya sampai ke makam. Ia bersembunyi dibalik pohon, mengamati gerak-gerik gadis kecil itu secara diam-diam. Gadis kecil itu berjongkok di depan gundukan makam. Ia menempelkan pipinya ke atas gundukan tanah. Sejurus kemudian, ia meratap dengan kata-kata yang terdengar jelas oleh Hasan Bashri.

“Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan pelipur? Ayah,kemarin malam aku nyalakan lampu untukmu, semalam siapa yg menyalakannya untukmu?

Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya?
Ayah, kemarin malam aku masih memijat kaki dan tanganmu, siapa memijatmu semalam? Ayah, kemarin aku memberimu minum, siapa yg memberi minum tadi malam kepadamu?
Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yg satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam?”
Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan Bashri tak kuasa menahan tangis. Ia keluar dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu.

“Hai gadis kecil! Jangan berkata seperti itu, tetapi, ucapkanlah, ‘Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah engkau masih seperti itu atau telah berubah?.

Ayah, kami kafani kau dengan kain terbaik, masih utuhkah kain kafan itu?
Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanya imannya. Ada yang menjawab dan ada yg tidak.
Bagaimana dengan ayah? Apakah engkaku bisa mempertanggungjawabkan imannmu, ayah? Ataukah engkau tak berdaya?
Ulama mengatakan, kubur sebagai taman surga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau kadang menghimpitnya seperti tulang belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dihimpit ayah?
Kata ulama, orang yg dikebumikan menyesal, mengapa tak memperbanyak amal baik. Orang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekan mu ataukah karena amal baikmu sedikit, Ayah?
Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tak bisa menemuimu lagi hingga hari kiyamat nanti. Wahai Allah, janganlah Engkaku rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti.”

Gadis kecil itu menengok kepada Hasan Bashri seraya berkata, “Betapa indah ratapanmu kepada ayaku, betapa baik bimbingan yang telah kuterima, engkau ingatkan aku dari lelap lalai.”

Kemudian Hasan Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.

Post By Santosa Uyee
Design by Santosa Uyee Visit Original Post Putra ka'bah