Kamis, 12 November 2015

HASAN BASHRI DAN GADIS KECIL

image


SORE itu Hasan Bashri, seorang tabi’in terkemuka, sedang duduk di teras rumahnya. Tak lama kemudian lewat iringan jenazah dengan rombongan pelayat dibelakangnya. Dibawah keranda yang diusung, berjalan seorang gadis kecil sambil terisak-isak. Ia adalah putri orang yang sedang meninggal itu.

Keesokan harinya, usai salat subuh, gadis kecil itu bergegas lagi ke makam ayahnya. Hasan Bashri mengikutinya sampai ke makam. Ia bersembunyi dibalik pohon, mengamati gerak-gerik gadis kecil itu secara diam-diam. Gadis kecil itu berjongkok di depan gundukan makam. Ia menempelkan pipinya ke atas gundukan tanah. Sejurus kemudian, ia meratap dengan kata-kata yang terdengar jelas oleh Hasan Bashri.

“Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan pelipur? Ayah,kemarin malam aku nyalakan lampu untukmu, semalam siapa yg menyalakannya untukmu?

Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya?
Ayah, kemarin malam aku masih memijat kaki dan tanganmu, siapa memijatmu semalam? Ayah, kemarin aku memberimu minum, siapa yg memberi minum tadi malam kepadamu?
Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yg satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam?”
Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan Bashri tak kuasa menahan tangis. Ia keluar dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu.

“Hai gadis kecil! Jangan berkata seperti itu, tetapi, ucapkanlah, ‘Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah engkau masih seperti itu atau telah berubah?.

Ayah, kami kafani kau dengan kain terbaik, masih utuhkah kain kafan itu?
Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanya imannya. Ada yang menjawab dan ada yg tidak.
Bagaimana dengan ayah? Apakah engkaku bisa mempertanggungjawabkan imannmu, ayah? Ataukah engkau tak berdaya?
Ulama mengatakan, kubur sebagai taman surga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau kadang menghimpitnya seperti tulang belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dihimpit ayah?
Kata ulama, orang yg dikebumikan menyesal, mengapa tak memperbanyak amal baik. Orang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekan mu ataukah karena amal baikmu sedikit, Ayah?
Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tak bisa menemuimu lagi hingga hari kiyamat nanti. Wahai Allah, janganlah Engkaku rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti.”

Gadis kecil itu menengok kepada Hasan Bashri seraya berkata, “Betapa indah ratapanmu kepada ayaku, betapa baik bimbingan yang telah kuterima, engkau ingatkan aku dari lelap lalai.”

Kemudian Hasan Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.

Post By Santosa Uyee

Assalamu’alaik Ya Ali Zainal Abidin

FARAZDAQ, seorang pujangga Arab tersohor,, pernah melukiskan IMAM ALI ZAINAL ABIDIN as. Dia adalah lelaki yang tampan. Dari tubuhnya menebar bau harum segar. Pada dahinya terdapat bekas sujud. Karenanya, orang-orang mengenal beliau dengan gelar As-Sajjad (yang banyak bersujud).

image
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa. “Allahu Akbar!” suara lelaki itu mengawali shalatnya. Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud.

Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do’a. Seusai shalat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah… Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya. “Rupanya malam sudah larut…,”bisiknya. Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkan nya. Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
“Alhamdulillah…,harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,”kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya. Ketika hari mulai terang,orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu. “Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!” seru orang yang mendapat jatah makanan. “Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakan nya untuk kita!” sambut yang lainnya.
Begitu pula pada malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan. “Sungguh! Kita terbebas dari kesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!” kata orang miskin ketika pagi tiba. “Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong…,” timpal seorang temannya. Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungannya.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya? Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparan. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya! “Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak…,” orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin. Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. “Ayo cepat! Mana uangnya?!” gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
Ali menurunkan karung dipundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok sehingga membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali. “Siapa kau?!” tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu. “Ampun, Tuan….jangan siksa saya…saya hanya seorang budak miskin…,” katanya ketakutan. “Kenapa kau merampokku?” Tanya Ali kemudian. “Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan,” sahutnya dengan wajah pucat. Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus. “Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat…” “Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?” kata Ali. Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub. “Sekarang pulanglah!” kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis. “Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertaubat kepada Allah…saya berjanji tidak akan mengulanginya,” kata orang itu penuh sesal. Ali tersenyum dan mengangguk–anggukkan kepalanya.
“Hai, orang yang bertaubat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah Maha pengampun.” Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertaubat atas kesalahannya. “Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini…,” kata Ali sebelum orang itu pergi.” Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku,” sambung Ali, dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika setelah wafatnya Ali Zainal Abidin, orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang. Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya, “Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?”
“Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah,” kata orang yang bertaubat itu dengan rasa haru. Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan……

Post By Santosa Uyee

Hiburan Untuk Rasulullah Saw

image

____Ketika Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam sedang gundah atau risau, ada seorang sahabat yang menghibur beliau shallallahu’alayhi wa sallam yaitu sayyidina ‘Nuaiman’ Radiyallahu’anhu.
Ketika wajah Rasulullah sallallahu’alayhi wasallam tampak berbeda karena marah, Nuaiman datang membawa seekor kambing dengan maksud ingin membahagiakan Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam.
“Wahai Rasul, terimalah kambing ini”
Rasul menjawab, ‘Terimakasih wahai Nuaiman’
Selang beberapa waktu, datang seorang penjual kambing menagih pembayaran kepada Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam seraya berkata: “Mana uang pembayarannya Ya Rasulullah?”
Maka Rasulullah shallallahu’alayhi wa sallam- kaget. ‘Ini saya dikasih oleh Nuaiman!’… ‘Mana panggil Nuaiman kesini’
“Na’am Ya Rasulullah, aku ingin menghiburmu agar engkau bahagia, namun ku tak punya apapun, oleh karenanya aku membawakan kambing padamu, namun aku tak punya uang,,,, biar engkau yang membayarnya Wahai Rasululah”
(Masya Allah)
Lantas Rasulullah pun tersenyum lalu menyerahkan kepada para sahabat untuk mengurus pembayaran kambing tersebut.

Indahnya budi pekerti Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan indahnya jiwa2 sahabat yang slalu ingin membahagiakan Rasulullah Shallallahu’alayhi wasallam.
(Diceritakan oleh Al-Habib Munzir Al-Musawa)

Post By Santosa Uyee

Kenapa Sayyidah Fathimah Dicintai Rasulullah?

Suatu ketika Sayyidah Fatimah Azzahra putri tercinta Rasulullah SAW, berada di depan rumah beliau, tiba-tiba ada janazah yang hendak di bawa kekuburan lewat di depan sayyidah Fatimah Azzahra. Saat itu Sayyidah Fatimah bersama Sayyidah Asma binti khumaisy yang biasa menemani dan menghibur Sayyidah Fatimah setelah kepergian Rasulullah SAW.

fathimah azzahro
Tiba-tiba saat itu Sayyidah Fatimah menangis tersedu-sedu hingga membuat Sayyidah Asma panik lalu bertanya, “ wahai putri Rasulullah, kenapa engkau menangis melihat janazah itu? ada apa dengan janazah itu? ”Sayyidah Fatimah menjawab, setiap orang yang mati akan dibungkus dengan kain kafan yang rapat lalu akan di bawa kelokasi pemakaman dengan di panggul oleh orang-orang yang membawanya?” (Dahulu sebelum adanya keranda mayat jika ada orang meninggal maka di saat dibawa ke kubur janazah dipanggul di atas pundak orang-orang yang membawanya). Sayyyidah Asma menjawab,  “Tentu wahai putri Rasulullah? ” Kemudian Sayyidah Fatimah melanjutkan,” Dan akupun kelak akan di bawa kekubur seperti itu?” Sayyidah Asma menjawab “Benar wahai putri Rasulullah”. Lalu Sayyidah Fatimah melanjutkan ” Itulah yang menjadikan aku menangis, sungguh aku sangat malu jika nanti aku meninggal, kemudian di bungkus kain kafan dengan rapat lalu di angkat di atas punggung orang-orang yang membawaku kekubur, sementara orang yang mengiring janazahku akan melihatku, sungguh aku sangat malu karena saat itu mereka akan melihat lekuk-lekuk tubuhku”.

Mendengar ungkapan Sayyidah Fatimah ini Sayyidah Asma berkata ” wahai putri Rasulullah, disaat aku ke negeri Habasyah aku melihat janazah yang di bawa kekubur, janazah diletakkan di sebuah tempat yang di sebut keranda, aku pikir itu bisa menutupi pandangan orang dari melihat lekuk tubuh janazah yang dibawa”.
Mendengar cerita Sayyidah Asma ini tiba-tiba tangis Sayyidah Fatimah terhenti, dan wajah beliau berubah berseri-seri sambil berkata ”wahai Asma sungguh aku berwasiat, jika aku mati nanti tolong buatkan aku keranda mayat seperti yang engkau ceritakan agar lekuk tubuhku tidak terlihat saat di bawa kekuburan”. Dan benar setelah Sayyidah Fatimah meninggal, maka di buatlah keranda mayat untuknya.
Yang perlu di cermati dari kisah ini adalah sifat mulia Sayyidah Fatimah yang senantiasa merasa malu jika ada yang melihat lekuk tubuhnya, meskipun disaat beliau sudah meninggal. Dan karena rasa malu yang dimiliki oleh Fatimah inilah menjadi rahasia, kenapa Sayyidah Fatimah menjadi wanita yang paling mullia dan dicintai Rasulullah SAW.
Dan Saat ini, di hari ini! Adakah sifat mulia sayyidah Fatimah menempel pada wanita yang berada di rumah kita? Atau di rumah kita ada orang yang mengaku mencintai Rasulullah akan tetapi di saat masih hidup pun tidak merasa malu jika lekuk-lekuk tubuhnya di saksikan orang di sana-sini. Atau justru pamer lekuk tubuh telah menjadi kebanggan para wanita yang mengaku kenal Sayyidah Fatimah dan kenal Rasulullah? Jangan sampai ada yang berkata “ yang penting hati bersih masalah dandanan tidak penting”. Hati Sayyidah Fatimah sungguh jauh dan jauh lebih bersih dari hati wanita – wanita yang kita saksikan saat ini. Justru karena kebersihan hati beliaulah maka Sayyidah Fatimah sangat pemalu dan senatiasa menjaga aurat beliau.
Ya Allah Yang Maha Pengasih, berikan kasih sayangmu kepada kami dan kepada para wanita wanita kami ! Tutuplah aurat mereka ! Berikan kepada mereka rasa malu yang menjadikan mereka senatiasa menjaga aurat dan kehormatan mereka.
Wallahu a’lam bissawab.

Post By Santosa Uyee

Cinta Sawad R.A

image
___Dalam perang Badar, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam meluruskan barisan sahabat (yg akan berangkat perang). Di antara para sahabat itu terdapat orang bernama Sawad. Sawad adalah orang yang tak meluruskan diri dalam barisan tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, ‘Hai Sawad, luruskan!’ Dia menjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah.’
Beliau melanjutkan meluruskan barisan. Ternyata, Sawad kembali berada di luar barisan.

Beliau lalu bersabda: ‘Hai Sawad, luruskan!’

Dia mnjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah.’
Beliau melanjutkan meluruskan barisan. Ternyata, Sawad kembali berada di luar barisan untuk yang ketiga kalinya. Rasulullah kemudian mengambil kayu siwak dan memukul perut Sawad. Sawad lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, engkau telah menyakiti aku. Sekarang aku menuntut balas.’ Rasulullah kemudian membuka bagian perutnya dan bersabda, ‘Sekarang, balaslah, hai Sawad!’

Sawad lalu merangkul perut Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam yang mulia dan menciumnya. Rasulullah bertanya: ‘Mengapa kamu melakukan ini, hai Sawad?’ Dia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kukira hari ini adalah hari kesyahidanku. Aku ingin di akhir hidupku di dunia ini, tubuhku bisa bersentuhan dengan tubuhmu sehingga Allah akan mengharamkan api neraka menyentuh tubuhku.’

___
Allahumma shalliy ‘ala Muhammad


Post By Santosa Uyee

Kisah Hasan Bin Tsabit

Dalam satu tausiyah Habib Syech Abdul Qadir Assegaf, beliau menyampaikan sebuah kisah keluhuran kepribadian Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam yang menjadi sebuah kenangan mendalam bagi seorang sahabat bernama ‘Hasan bin Tsabit’ [radiyallahu’anh].

tausiyah habib syech bin abdul qodir assegaf
Suatu ketika para sahabat tengah berkumpul menanti kedatangan Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam. Mereka bersepakat untuk tidak bangun dari duduk bilamana Rasulullah shalallahu’alayhi wasallam tiba dihadapan mereka. Hal ini karena telah dipesankan oleh Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam.

Tapi lain halnya dengan apa yang dilakukan Hasan bin Tsabit. Ketika Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam tiba, Hasan bin Tsabit segera berdiri memberikan penghormatan. Seluruh pandangan para sahabat yang lain mengarah kepadanya. Maka Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam bertanya: ‘Wahai Hasan, mengapa engkau melakukan ini?’ Hasan bin Tsabit menjawab, dengan menguntai syair yang spontan meluncur dari lisannya:
Duhai kekasih kami….
aku berharap dapat melihatmu dengan segenap pengharapan
seperti aku tak akan punya
kesempatan lagi bisa melihatmu..
Betapa indahnya dirimu
sehingga tak ada lagi perempuan yang
akan melahirkan lagi sosok sepertimu

Duhai kekasih kami…
salam ta’zimku buat dirimu yang aku cintai

Usai mengucapkan kata-kata itu, sekonyong-konyong Hasan bin Tsabit menyungkurkan dirinya dihadapan Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam. Rasulullah dengan setengah membungkuk, mengangkat bahu Hasan untuk berdiri.
Lalu beliau memeluknya, seraya berkata: “WAHAI HASAN, KELAK ENGKAU AKAN BERSAMA DENGAN ORANG YANG ENGKAU CINTAI INI”


Post By Santosa Uyee

Tangisan Rindu Seorang Penyair

DAHULU di masa seorang penyair hebat dan sangat terkenal yaitu syaikh Farazdaq dimana beliau selalu asyik memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mempunyai kebiasaan melakukan ibadah haji setiap tahunnya.

460844_10150840800479195_1346740732_o
Suatu waktu ketika beliau melakukan ibadah haji kemudian datang berziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan membaca qasidah di makam beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,dan ketika itu ada seseorang yang mendengarkan qasidah pujian yang dilantunkannya, setelah selesai membaca qasidah orang itu menemui syaikh Farazdaq dan mengajak beliau untuk makan siang ke rumahnya,

beliau pun menerima ajakan orang tersebut dan setelah berjalan jauh hingga keluar dari Madinah Al Munawwarah hingga sampai di rumah orang tersebut, sesampainya di dalam rumah orang tersebut memegangi syaikh Farazdaq dan berkata: “sungguh aku sangat membenci orang-orang yang memuji-muji Muhammad, dan kubawa engkau kesini untuk kugunting lidahmu”,  maka orang itu menarik lidah beliau lalu mengguntingnya dan berkata : “ambillah potongan lidahmu ini, dan pergilah untuk kembali memuji Muhammad”,
Maka Farazdaq pun menangis karena rasa sakit dan juga sedih tidak bisa lagi membaca syair untuk sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau datang ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berdoa : “Ya Allah jika shahib makam ini tidak suka atas pujian-pujian yang aku lantunkan untuknya, maka biarkan aku tidak lagi bisa berbicara seumur hidupku, karena aku tidak butuh kepada lidah ini kecuali hanya untuk memuji-Mu dan memuji nabi-Mu, namun jika Engkau dan nabi-Mu ridha maka kembalikanlah lidahku ini ke mulutku seperti semula”,
Beliau terus menangis hingga tertidur dan bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkata : “aku senang mendengar pujian-pujianmu, berikanlah potongan lidahmu”, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil potongan lidah itu dan mengembalikannya pada posisinya semula, dan ketika syaikh Farazdaq terbangun dari tidurnya beliau mendapati lidahnya telah kembali seperti semula, maka beliaupun bertambah dahsyat memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hingga di tahun selanjutnya beliau datang lagi menziarahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kembali membaca pujian-pujian untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan di saat itu datanglah seorang yang masih muda dan gagah serta berwajah cerah menemui beliau dan mengajak beliau untuk makan siang di rumahnya, beliau teringat kejadian tahun yang lalu namun beliau tetap menerima ajakan tersebut sehingga beliau dibawa ke rumah anak muda itu, dan sesampainya di rumah anak muda itu beliau dapati rumah itu adalah rumah yang dulu beliau datangi lalu lidah beliau dipotong, anak muda itu pun meminta beliau untuk masuk yang akhirnya beliau pun masuk ke dalam rumah itu hingga mendapati sebuah kurungan besar terbuat dari besi dan di dalamnya ada kera yang sangat besar dan terlihat sangat beringas, maka anak muda itu berkata :
“engkau lihat kera besar yang di dalam kandang itu, dia adalah ayahku yang dulu telah menggunting lidahmu, maka keesokan harinya Allah merubahnya menjadi seekor kera”. Dan hal yang seperti ini telah terjadi pada ummat terdahulu, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

( الأعراف :166 )

“Maka setelah mereka bersikap sombong terhadap segala apa yang dilarang, Kami katakan kepada mereka jadilah kalian kera yang hina”. ( QS. Al A’raf : 166 )
Kemudian anak muda itu berkata: “jika ayahku tidak bisa sembuh maka lebih baik Allah matikan saja”,  maka syaikh Farazdaq berkata : “Ya Allah aku telah memaafkan orang itu dan tidak ada lagi dendam dan rasa benci kepadanya”, dan seketika itu pun Allah subhanahu wata’ala mematikan kera itu dan mengembalikannya pada wujud yang semula.
Dari kejadian ini jelaslah bahwa sungguh Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang suka memuji nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena pujian kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam disebabkan oleh cinta dan banyak memuji kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berarti pula banyak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan semakin banyak orang yang berdzikir, bershalawat dan memuji nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalla, maka Allah akan semakin menjauhkan kita, wilayah kita dan wilayah-wilayah sekitar dari musibah dan digantikan dengan curahan rahmat dan anugerah dari Allah subhanahu wata’ala.
Diceritakan oleh: Alhabib Munzier Al-Musawa

Post By Santosa Uyee

Ana Madinatul Ilmi wa ‘Aliy Babuha (Aku Adalah Kotanya Ilmu & Ali Adalah Pintu Gerbangnya)

64072_10200978020231804_1978148956_n
MENYADARI akan kedudukannya dalam pandangan Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam baik sebagai ayah mertua maupun sebagai saudara misan yang mengasuhnya semenjak masih kanak-kanak, terkadang Ali bin Abi Thalib tak segan-segan menanyakan segala sesuatu kepada Rasulullah shallallahu’alayhi wa sallam, termasuk urusan-urusan yang menjadi wilayah pribadi beliau.

Karena seringnya Ali bin Abi Thalib mengajukan pertanyaan, Rasulullah pernah mengibaratkan beliau sendiri sebagai Kotanya Ilmu dan Ali merupakan Pintu Gerbangnya. Hal apa saja akan ditanyakan Ali kepada Rasulullah shallallhu’alayhi wasallam, jika ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Termasuk hal-hal yang dirasa ganjil atau permasalahan yang belum ia ketahui. Apalagi ia menyadari bahwa ia telah memperoleh kedudukan yang begitu terhormat di sisi Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam, maka semakin bertambah keberaniannya untuk sering bertanya kepada Rasulullah tentang segala hal, termasuk urusan pribadi.
Suatu ketika Ali bin Abi Talib bertanya kepada Rasulullah tentang siapa yang lebih dicintai Rasulullah, apakah putri beliau Fathimah Azzahra atau dirinya suami Fathimah? Saat mendapatkan pertanyaan seperti itu, Rasulullah shallallahu’alayhi wa sallam tersenyum, lalu beliau menjawab dengan bijaksana: “Fathimah lebih aku cintai daripada engkau, sedangkan engkau lebih mulia dan lebih aku hargai daripada Fathimah”
Itulah jawaban beliau yang mengandung kecerdasan dan unsur humor, dengan begitu beliau bisa menyenangkan hati anak paman beliau yang begitu disayangi. Sedangkan pada waktu yang bersamaan, beliau juga menjelaskan cinta dan kasihsayang beliau kepada putri yang selalu menjadi belahan hati beliau. Rasulullah memberi perbandingan antara Ali Karamallahu wajhah dan Fathimah Azzahra dengan cerdik.

Post By Santosa Uyee

KISAH ASHABUL KAHFI

Dalam surat al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan nabi Khidzir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.

ashabul-kahfi-15
“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung kedalam gua lalu mereka berdoa, “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (Q.S. Al-Kahfi:10).

Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Dikala Umar bin Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah, “Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.
“Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu?
Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin!
Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya!
Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau!
Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok!
Apakah yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang meringkik?
Apakah yang dikatakan oleh katak diwaktu ia sedang bersuara?
Apakah yang dikatakan oleh keledai disaat ia sedang meringkik?
Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak, kemudian berkata, “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata, “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar bin Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkat,: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata, “Silahkan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya, “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik laki-laki ataupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kehadirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi, “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata, “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut, “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi, “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman AS putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, ‘Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan, “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!”
(MasyaAllah)
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab, “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut, “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut kedepan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata,
“Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, disebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai disitu, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya, “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan,
“Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Disebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Disebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai disitu pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata,
“Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi, lalu berkata, “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab,
“Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri disebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina.
Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung didalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu kedalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha— memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia berpikir, lalu berkata di dalam hati, “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya, ‘Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?’
‘Teman-teman,’ sahut Tamlikha, ‘hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.’
Teman-temannya mengejar, ‘Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?’
‘Sudah lama aku memikirkan soal langit,’ ujar Tamlikha menjelaskan. ‘Aku lalu bertanya pada diriku sendiri,’siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini, ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri, ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata, ‘Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!’
‘Saudara-saudara,’ jawab Tamlikha, ‘baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi!’
‘Kami setuju dengan pendapatmu,’ sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya, ‘Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya,’Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?’
‘Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,’ sahut penggembala itu. ‘Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!’
‘Ah…, susahnya orang ini,’ jawab mereka. ‘Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?’ ‘Ya,’ jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata, ‘Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.’
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Gua Ashabul Kahfi
Gua Ashabul Kahfi
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata, “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib, “Anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya, kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali:
‘Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT.’
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata, “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?”
Imam Ali menjelaskan, “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau disebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya,
“Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri.
Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri.
Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata, ‘Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!’
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya,
“Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.,
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
(Subhanallah…)
Setelah masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka.
Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya, ‘Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!’
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, ‘Siapakah diantara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.’
Tamlikha kemudian berkata, ‘Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!’
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan, ‘Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Rosul Allah.’
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri, ‘Kusangka aku ini masih tidur!’ Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti, ‘Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?’
‘Aphesus,’ sahut penjual roti itu.
‘Siapakah nama raja kalian?’ tanya Tamlikha lagi.
‘Abdurrahman,’ jawab penjual roti.
‘Kalau yang kau katakan itu benar,’ kata Tamlikha, ‘urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!’
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.”
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib,
“Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan, “Uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya,
“Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha, ‘Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!’
‘Aku tidak menemukan harta karun,’ sangkal Tamlikha. ‘Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!’
Penjual roti itu marah. Lalu berkata, ‘Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?’
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berpikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, ‘Bagaimana cerita tentang orang ini?’ ‘Dia menemukan harta karun,’ jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, Raja berkata,
‘Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.’
Tamlikha menjawab, ‘Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!’
Raja bertanya sambil keheran-heranan, ‘Engkau penduduk kota ini?’
‘Ya. Benar,’ sahut Tamlikha.
‘Adakah orang yang kau kenal?’ tanya raja lagi.
‘Ya, ada,’ jawab Tamlikha.
‘Coba sebutkan siapa namanya,’ perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata. ‘Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?’
‘Ya, tuanku,’ jawab Tamlikha.
‘Utuslah seorang menyertai aku!’
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, ‘Inilah rumahku!’
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang, ‘Kalian ada perlu apa?’
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut, ‘Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!’
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya, ‘Siapa namamu?’ ‘Aku Tamlikha anak Filistin!’
Orang tua itu lalu berkata, ‘Coba ulangi lagi!’ Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: ‘Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang diantara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru, ‘Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!’
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya,
‘Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?’
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
“Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka, ‘Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!’
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, ‘Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!’
Tamlikha menukas, ‘Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?’
‘Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,’ jawab mereka.
‘Tidak!’ sangkal Tamlikha. ‘Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!’
Teman-teman Tamlikha menyahut, ‘Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?’
‘Lantas apa yang kalian inginkan?’ Tamlikha balik bertanya.
‘Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,’ jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa,
‘Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!’
Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata, ‘Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.’
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, ‘Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.’
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu,
“Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab, “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!”
Subhanallah..

Post By Santosa Uyee
Design by Santosa Uyee Visit Original Post Putra ka'bah