Memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap
ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang
sifatnya duniawi dan sementara."
Di sela-sela kepadatan jadwal kunjungan dakwahnya di Indonesia, tokoh
muda yang menjadi salah satu sayap dakwah Habib Umar Bin Hafidz, yang
menjadi figur kita kali ini, menyempatkan diri bertandang ke kantor
alKisah. Dialah Habib Alwi bin Abdullah bin Husein Alaydrus.
Ditemani Habib Hamid Al-Qadri, Habib Alwi berbagi cerita. Meskipun tak
banyak yang bisa dikisahkannya, karena sempit dan terbatasnya waktu,
tatap muka singkat itu sudah dapat melukiskan secara utuh kedalaman ilmu
dan wawasan pemikirannya meski di usianya yang masih sangat muda.
Habib Alwi lahir di Bandar Syihir pada tahun 1979 M/1399 H. Pertama kali
belajar ilmu syari’at ia dapatkan dari masjid ke masjid. Ia belajar
Al-Quran dari Sayyid Salim bin Sa`id Bada`ud. Selain belajar Al-Quran,
ia juga sudah menghafal secara intens beberapa matan penting dalam
khazanah keilmuan syari’ah, di antaranya matan kitab, karya Syaikh Ibnu
Ruslan, dan Aqidah Al-`Awam, karya Syaikh Ahmad Marzuqi. Pada kala itu
ia baru menginjak usia kurang dari tujuh tahun.
Setelah itu ia terus menggeluti ilmu-ilmu syari’ah dan banyak menerima
ijazah dari guru-guru besar Hadramaut, di antaranya Syaikh Abdul Karim
bin Abdul Qadir Al-Mallah, mufti Syihir, Sayyid Ali Masyhur bin Muhammad
Bin Hafizh, mufti Tarim, dan Syaikh Salim bin Khamis Al-Habli, ulama
besar yang menjadi rujukan banyak ahli ilmu. Dari dan kepada mereka
Habib Alwi membaca, antara lain, kitab Al-Yaqut An-Nafis, karya Sayyid
Ahmad bin Umar Asy-Syathiri Al-Husaini, dan kitab Tanwir Al-Qulub fi
Mu`amalah `Allam Al-Ghuyub, karya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi.
Setelah Habib Umar Bin Hafidz mendirikan Darul Musthafa pada tahun 1417
H/1996 M, barulah Habib Alwi mengambil silsilah keilmuan dari Habib Umar
Bin Hafizh dan ulama-ulama terkemuka lainnya yang ikut terlibat di
Darul Musthafa.
Selain menyelami ilmu di Darul Musthafa, Habib Alwi juga telah
menamatkan studi formal strata satunya dari Universitas Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Hadhramaut, Fakultas Tarbiyah, tahun 2002.
Saat ini, dalam usianya yang masih sangat muda, Habib Alwi dipercaya
mengemban jabatan ketua Divisi Halaqah dan Kajian Ilmu Darul Musthafa,
yang membawahkan semua halaqah keilmuan yang berpusat di masjid-masjid,
baik di dalam maupun di luar Hadhramaut, yang berada di bawah payung
Darul Mushthafa.
Yang menarik, dalam setiap halaqah yang diadakan di masjid-masjid
tersebut terdapat metodologi dan kurikulum tersendiri dengan materi
kitab-kitabnya. Di antara kitab-kitab yang menjadi materi pokoknya
adalah kitab Risalah Al-Jami’ah, Safinah An-Najah, Al-Muqaddimah
Al-Hadhramiyah, Matn Abi Syuja’, Al-Yakut An-Nafis, Umdah As-Salikin,
Aqidah Al-`Awam, Al-`Aqidah (karya Imam Haddad), Durus At-Tauhid, Jauhar
At-Tawhid, Al-Ajurumiyah, Mutammimah Al-Ajurumiyah, Qatr An-Nada,
Mukhtar Al-Ahadits, Al- Arba’in An-Nawawiyyah, Nur Al-Iman, Mukhtar
Riyad Ash-Shalihin.
Masa belajar pada halaqah-halaqah tersebut selama dua belas tahun,
tiap-tiap tingkatan mamakan waktu selama satu tahun. Selain itu, pada
halaqah-halaqah yang ada diterapkan pula ujian-ujian secara berkala
berdasarkan kurikulum yang ada.
Satu hal lagi yang perlu ditiru, semua kegiatan pembelajaran yang padat
dan berbobot tersebut sama sekali tidak dipungut biaya. Bahkan, "Habib
Umar Bin Hafidz bila memberikan ceramah atau taushiyah di suatu tempat
hanya diberi kopi," ujar Habib Ubaidillah Al-Habsyi, salah satu alumnus
Darul Musthafa yang turut hadir di alKisah pada saat itu, menceritakan
pengalamannya selama berada di Hadhramaut. Demikianlah contoh yang
diberikan oleh Habib Umar dalam mendidik umat dan mengajak mereka ke
jalan Allah. Bilapun ada peserta halaqah yang memberi infaq, itu pun
hanya beberapa dan sangat kecil nilainya, sekitar 50 sampai 100 ribu.
"Dengan keikhlasan, kegiatan semacam itu akan terus dilaksanakan, baik
ada dana maupun tidak. Karena, memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara
agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua
upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara,"
kata Habib Alwi.
Produktif Menulis
Selain sebagai ketua Halaqah Ilmu Darul Musthafa, ia juga aktif sebagai
salah satu ketua forum kajian keilmuan syari’ah di kota Syihir. Dan
meski kesibukannya sangat padat dalam dakwah dan keilmuan, Habib Alwi
termasuk tokoh muda yang sangat produktif menulis karya-karya yang
dibutuhkan umat. Di antara yang sudah ditulisnya adalah kitab Syarh
Al-Warif `ala Al-Mukhtashar Al-Lathif, yang merupakan syarah atas kitab
yang lebih dikenal dengan nama Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, karya
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal, Irsyad Al-Anam ila Ahkam
As-Salam, Risalah At-Tilifun wa Ahkamuh, Ad-Dalail Al-Wudhuh fi Qunut
Ash-Shubh, Al-Hamzah fi Sharf, Syarh Al-Qawl Al-Mubin fi Tajhiz Amwat
Al-Muslimin.
Ada satu pengalaman ruhani yang sangat menarik bagi Habib Alwi,
sebagaimana penuturan Habib Hamid Alqadri menukil dari keterangan Habib
Alwi. Habib Alwi menceritakan, tatkala menulis kitabnya yang berjudul
Al-Manhal Al-Warif, yang merupakan syarah atas kitab Al-Mukhtashar
Al-Latif, ia mendapat banyak kritikan dari beberapa orang yang
menganggap bahwa mengarang kitab seperti itu hanya membuang energi,
sebab kitab-kitab semacam itu telah banyak ditulis oleh orang lain.
Kata-kata itu spontan membuatnya patah semangat, dan ia pun membiarkan
kertas-kertas yang berisikan tulisan kitab Al-Manhal Al-Warif tersebut
berserakan begitu saja, yang waktu itu masih belum rampung. Dalam
keadaan sedih dan bingung itu, Habib Alwi merebahkan diri di antara
lembaran-lembaran kertas tersebut hingga akhirnya terlelap.
Dalam kondisi seperti itu, Habib Alwi bermimpi. Ia mendengar telepon
berdering dan ia pun segera mengangkatnya dan menanyakan siapa yang
menelepon.
"Siapa Anda?"
"Umar Bin Hafidz! Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis itu, ayo baca! Saya ingin mendengarnya.”
Kontan kejadian itu membuatnya bingung dan ia segera mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan tadi.
Sementara ia masih dalam kondisi bingung, tiba-tiba telepon berdering kembali dan Habib Alwi mengangkatnya kembali.
"Siapa Anda?”
"Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal (pengarang kitab Al-Mukhtashar). Coba engkau baca kitabmu itu!"
Habib Alwi semakin bingung, dan telepon kembali berdering.
Setelah telepon diangkat dan ditanyakan, penelpon itu menjawab bahwa ia
adalah Muhammad bin Idris Asyafi`i (Imam Syafii). Imam Syafi`i juga
meminta hal yang sama.
Kepanikan Habib Alwi semakin bertambah tatkala untuk kesekian kalinya
telepon berdering. Seperti sebelumnya ia pun mengangkat telepon tersebut
dan bertanya, "Anda siapa?"
"Kakekmu, Muhammad SAW. Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis, ayo baca! Aku ingin mendengarnya."
Seketika Habib Alwi terbangun dan menata kembali lembaran-lembaran yang tadinya berserakan.
Keesokan harinya Habib Alwi berjumpa salah seorang shalih yang tinggal
di Syihir. Dengan tanpa diduga-duga, orang itu menegor dirinya.
"Alwi, kenapa engkau menunggu sampai Nabi menegurmu dalam melanjutkan karanganmu itu?"
Habib Alwi sangat kaget dengan pernyataan orang itu, sebab mimpi yang dialaminya malam itu tidak diceritakan pada siapa pun.
Maka setelah kejadian itu, semangat Habib Alwi kembali bangkit untuk merampungkan kitab tersebut.
Setelah penulisan kitab itu selesai dan ia pindah ke kota Tarim, ia
bertemu Habib Salim Asy-Syathiri. Ia pun memperlihatkan hasil karyanya
itu kepada Habib Salim. Dalam perbincangan itu, ia ceritakan mimpi yang
pernah dialaminya.
Mendengar semua itu, Habib Salim menganjurkan agar mimpi itu juga
dituliskan pada pembukaan kitab tersebut. Namun, saran itu belum bisa ia
lakukan karena beberapa hal.
Safari Dakwah
Selama kurang lebih 17 hari berkunjung di Indonesia, Habib Alwi
mengadakan safari dakwah di beberapa kota besar di Indonesia. Di
Jakarta, Habib Alwi mengikuti semua majelis yang dikunjungi Habib Umar
Bin Hafidz, di samping menghadiri halaqah yang diadakan dan diprakarsai
oleh Telkom Pusat di Jln. Gatot Subroto. Di Situbondo, Habib Alwi
menjadi pembicara pada seminar “Aqidah Ahlussunnah” yang diselenggarakan
Universitas Al-Ibrahimi, dilanjutkan dengan pertemuan di Masjid
Awwabin, Bondowoso. Setelah itu ia menghadiri haul Imam Faqih Muqaddam,
Muhammad bin Ali Al-Husaini, di majelis Tarekat Alawiyyah
Naqsyabandiyyah wa Muhsiniyyah, Bondowoso, pimpinan Habib Haidarah bin
Muhsin Al-Hinduan, alumnus angkatan pertama Darul Musthafa. Kemudian
Habib Alwi melanjutkan safari dakwahnya ke Banjarmasin, Palangkaraya,
Sampit, dan Pangkalan Bun dalam rangka menghadiri Haul Imam Faqih
Muqaddam.
Setelah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya ke Ketapang dan Pontianak
untuk mengikuti haul Imam Al-Muhajir, Ahmad bin Isa Al-Husaini.
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Habib Alwi mendapat undangan untuk menjadi narasumber program dakwah di stasiun TV Banjar.
Dalam dakwah, Habib Alwi memiliki pandangan yang tidak berbeda dengan
pendahulu dan salah satu guru utamanya, Habib Umar Bin Hafidz.
At-Tawassuth, moderat, dalam dakwah adalah jalan paling utama menurutnya
dalam meniti jalur dakwah, mengajak manusia ke jalan Allah.
Menurut Habib Alwi, tidak seorang pun diperkenankan oleh syari’at untuk
memaksakan seseorang untuk melazimi hukum syari’at, kecuali seorang
hakim yang secara sah diangkat oleh pemerintah. Karena, bila setiap
orang merasa berhak untuk memaksa orang lain, pastilah setiap orang akan
merasa berhak menghakimi orang lain tatkala orang lain itu berbeda
pandangan dengan pemikirannya. Bila hal ini terjadi, bukan amar ma`ruf
nahi munkar yang diperintahkan syari’at yang ada, melainkan amar wan
nahyu bil munkar, memerintah dan melarang yang dilakukan dengan jalan
kemunkaran, itu yang terjadi. Dan itu jelas dilarang oleh syari’at.
Wallahu`alam bish-shawab.
Senin, 30 Juni 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar